Robi terus berteriak dan meronta. Ia menepis tangan yang berusaha menggenggam tangannya. Tidak! Ia butuh istrinya ada di sana ia tak butuh ditolong siapa pun. Hanya Yura.
Akan tetapi, tangan itu terus memaksa menggenggamnya. Ia kesal setengah mati. Karena meski terus mendorong tangan itu pergi, ia tak juga menyerah. Tangan itu halus dan lembut, persis seperti tangan istrinya. Belaian dan genggaman itu sama menenangkan seperti belaian dan genggaman Yura. Namun, ia tak mau berkhianat. Ia sudah berjanji, tak akan pernah ada siapa pun di hatinya. Hanya Yura, cinta pertama dan terakhirnya.
"Tenang dulu."
Suara itu menyejukkan jiwanya yang kalut dan gelisah. Menentramkan pikirannya dari segala hal yang menguras kewarasannya.
"Buka matamu."
Perintah itu lembut membujuk dan ia pun tergoda untuk membuka mata. "Ohh?"
"Syukurlah kamu bangun." Yura menatapnya khawatir. "Kamu terus mengigau dan berteriak."
Selama beberapa detik, Robi kehilangan orientasi dirinya sampai akhirnya sadar bahwa semua ketakutannya tadi hanyalah mimpi. "Beb," panggilnya merana.
"Aku di sini, Bi." Yura menatapnya dengan penuh kasih. Tangannya pun terulur untuk mengusap keringat di dahi suaminya. "Kamu mimpi buruk?"
Tanpa menjawab Robi langsung menarik Yura dan memeluknya. "Kupikir kau pergi."
Yura terkejut ketika merasakan tubuh Robi yang memeluknya bergetar. Sesaat kemudian, ia menyadari bahwa suaminya itu menangis tersedu. "Bi."
"Aku takut." Robi berkata di sela-sela isaknya. "Kau ninggalin aku."
"Memangnya aku bisa pergi ke mana kalau nyawaku ada di sini?"
Yura mengusap rambut Robi yang masih terus terisak. Ia menangis seperti anak kecil. Saat itu Yura tahu bahwa Robinya sedang rapuh. Mungkin, dari luar dia terlihat tangguh dan gagah, tetapi manusia mana yang tidak punya sisi lemah? Setiap manusia pasti pernah merasakan berada di titik terendah dalam hidup. Ia pun pernah merasakan itu dan Robi yang telah menariknya dari jurang kehancuran. Jadi, sekarang ketika kondisinya berbalik, ia harus bisa tetap menahan suaminya agar tidak terjatuh ke dalam jurang kehancuran.
"Aku sudah pernah bilang, pergi darimu sama dengan menjemput ajalku, Bi." Ia membelai Robi seperti seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya yang sedang menangis.
"Tapi, bersamaku kau hanya akan terus mengalami kesusahan." Robi memeluk Yura kian erat. "Waktuku, tenagaku, dan semua harus terbagi-bagi dengan banyak hal. Aku takut kau lelah dengan semua itu."
"Bi, kalau dipikir pakai logika, memang ada seribu alasan mengapa aku harus pergi ninggalin kamu. Dan semua alasan itu masuk akal." Yura merasakan tubuh Robi kaku dan tegang. "Tapi, aku hanya butuh satu alasan untuk tetap tinggal. Itu karena aku mencintaimu tanpa syarat."
"Beb."
Mendengar ucapan Yura, tubuh Robi sedikit rileks. Isaknya mulai berkurang, tetapi sesekali ia masih harus menyedot ingus karena air matanya masih belum mau berhenti mengalir. Ia tak tahu mengapa mimpi tadi begitu memengaruhi jiwanya. Dan bayangan bahwa Yura meninggalkan dirinya tak mau enyah dari kepala.
"Aku minta maaf, Beb. Karena—"
"Ssst! Aku nggak denger kata maaf untuk alasan apa pun, Bi."
"Tapi—"
"Aku nggak akan ninggalin kamu karena semua ujian yang harus kita hadapi. Orang tuamu, orangtuaku juga. Adik-adikmu adalah adik-adikku juga. Bahagia dan sedihnya mereka juga bahagia dan sedihku."
Robi memeluk Yura kian erat karena rak tahu lagi harus berkata apa. Namun, sejak detik itu ia tak mau lagi tidur tanpa Yura. Ia akan terbangun ketika tidak merasakan Yura ada di dekatnya. Ketika malam hari istrinya harus pergi ke kamar kecil, ia pun akan turut menemani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...