83. Syarat

235 45 4
                                    

Sabtu pagi merupakan salah satu hari santai bagi Robi. Hari itu Nisa dan Salwa libur sekolah, sementara Hawa hanya datang ke sekolah bila ada jadwal piket saja dan hari ini dia off. Jadi, ia tak perlu mengantar ketiga adiknya itu sebelum berangkat kerja.

Ia bermain bersama Biyu di teras sembari menunggu istrinya membuat sarapan. Setiap akhir pekan, rumahnya selalu heboh karena Yura pasti terus mengomel, meminta ketiga adiknya untuk mengerjakan kewajiban mereka sebelum bisa bersantai seperti mencuci seragam dan keperluan sekolah lainnya, mengganti sprei dan sarung bantal guling, dan entah apalagi yang istrinya perintahkan pada ketiga adik-adiknya.

Hawa yang sudah lebih besar sudah bisa mengerjakan semua itu tanpa diperintah dua kali, sementara Nisa dan Salwa masih harus mendapat omelan beberapa kali barulah dikerjakan. Itu karena acara di televisi setiap pagi menarik, kata Salwa dan Nisa. Yah, tapi istrinya lumayan tegas soal peraturan yang sudah mereka sepakati bersama. Tidak ada televisi atau bermain HP sebelum tanggung jawab masing-masing selesai.

Beberapa kali Salwa mendatanginya, meminta tolong supaya ia mau bicara pada Yura agar memberi Salwa kelonggaran, tetapi ia tak akan melakukan itu. "Mana berani Abang ngomong begitu, Wa. Bisa diusir dari rumah kalau Abang kasih kau remote TV itu."

"Masak sama Kak Yura aja takut, sih?" Salwa merengek.

"Nah, kalau kau berani. Coba ngomong sendiri sana."

"Ihh, Abang." Salwa mencebik. "Nanti Salwa kena omel pula. Udah gitu nggak boleh sarapan, cam mana?"

"Makanya, kerjain aja tugas kau. Mang suruh ngapain sama Kak Yura?"

"Suruh nyuci kaus kaki sama dasi."

"Kerjain ja tu. Kau ngerengek terus, kapan beresnya?" Robi menepuk pantat sang adik sembari mendorongnya masuk kembali ke dalam rumah. "Kalau kau balik lagi sambil ngerengek, Abang tambahin sekalian kaus kaki Abang."

"Kagaaak mau!" Salwa menjawab sambil berlari cepat masuk ke dalam. Sambil mengerucutkan bibir, ia memilih mencuci kaus kaki dan dasinya daripada mendapat tambahan tugas dari abangnya. Ahh, kenapa semua suka sekali memberinya tugas yang berat?

Ketika ia sedang sibuk dengan kaus kaki yang ia rendam dalam gayung kecil, telinganya menangkap suara abangnya yang cukup keras dari arah depan rumah. Seketika ia mendongak menatap kakak iparnya di dapur. Abangnya terdengar gusar dengan nada suaranya yang berat dan tinggi.

"Ada siapa di depan?" Yura bertanya pada Salwa.

"Tadi, nggak ada siapa-siapa." Salwa menggeleng lugu bercampur bingung. "Masak, sih, Abang marah ke Biyu?"

Yura tidak mau banyak bertanya. Ia mematikan kompor dan meminta Hawa memindahkan sayur ke dalam bangkuk dan menata semua menu sarapan yang sudah siap ke atas dipan, lalu bergegas berlari ke dalam rumah depan.

"Bi, ada apa?"

Yura keluar rumah dengan napas tersengal. Ia terkejut mendapati di teras rumahnya ada beberapa tamu. Furi, Pak RW, dan beberapa ketua RT lain yang ia belum terlalu hafal nama-namanya.

"Maaf, saya tidak tahu kalau ada tamu." Ia tersenyum malu. "Bi, kenapa tidak diajak masuk ke dalam?"

"Kagak usah. Mereka dah mau balik juga."

Yura menatap suaminya bingung karena beberapa tamu mereka tidak menunjukkan tanda-tanda ingin pamit pulang. Lalu, tatapannya berpindah ke Kak Furi, suami sahabatnya, yang membalasnya sembari mengulum senyum.

"Sebaiknya memang dibahas di dalam saja. Kurang elok kalau didengar orang lewat."

"Ya, tentu saja." Yura menjawab was-was. "Memangnya ada masalah apa, Kak?"

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang