Sudah satu bulan berlalu sejak Robi memulai training kerja. Ia mulai bisa menikmati karena hal-hal yang awalnya ia anggap terlalu sulit untuk dipelajari ternyata tidak seperti yang terlihat. Dengan cepat ia mempelajari banyak job desc yang ada di bengkel, termasuk bagaimana mengoperasikan banyak peralatan yang ada di bengkel itu karena sebagai pemimpin, ia tidak diharapkan hanya bisa memerintah dan mengatur, tapi juga memberi contoh.
Akhirnya, keraguan dan rasa tidak percaya dirinya perlahan sirna. Apalagi banyak hal yang ia tahu lebih baik dari sebagian orang di bengkel. Maksudnya, banyak skill yang ia kuasai di luar urusan bengkel. Seperti saat hendak mengirim orderan secara online dalam jumlah besar dengan tujuan yang melewati Jurang Akhir, ia yang mengambil alih kemudi menggantikan sopir yang belum berpengalaman melewati tanjakan curam itu. Atau saat ada stok barang datang dari pabrik, Robi ikut membantu menurunkan muatan dua kali lebih cepat dibanding yang lain karena sudah terbiasa bekerja sebagai kuli panggul.
Saat ada servis kendaraan besar pun, ia bisa mengetahui masalahnya dengan cepat karena itu makanan sehari-harinya saat di garasi dulu. Belum lagi ketegasan dan prinsipnya yang teguh membuatnya bisa menghadapi customer yang terkadang rewel atau sok karena meminta diutamakan tanpa ada rasa takut atau ragu sedikit pun.
Suatu hari ada pemuda congkak yang meminta untuk didahulukan. Pemuda itu membawa mobil sport-nya ke bengkel untuk spooring balancing. Dia meminta untuk didahulukan karena harus segera berangkat touring, tetapi saat itu montir sedang full melayani customer dan masih ada beberapa antrian yang menunggu. Pemuda itu meminta untuk dipertemukan dengan supervisor atau pimpinan di bengkel itu.
Dengan alasan hendak mengikuti touring, ia meminta mobilnya dikerjakan dengan cepat. Heru sudah berusaha menjelaskan dengan bahasa sebaik mungkin bahwa di bengkel itu tidak ada perbedaan layanan bagi siapapun. Mau mereka hanya ganti ban, servis mesin, atau sekedar ganti oli tetap harus sesuai dengan antrian.
"Ada masalah?" Robi mendekati Heru dan bertanya.
"Kau pimpinan di sini?"
"Ya," jawab Robi kalem.
Pemuda itu sekali lagi menjelaskan masalahnya. Beberapa jam lagi ia akan mengikuti touring bersama komunitas mobil sport di kampus. Ia ingin mobilnya diservis lebih dulu demi keselamatan dan kenyamanan saat touring nanti.
"Wah," Robi memandang ke segala penjuru bengkel bagian servis. "Para montir tidak ada yang kosong."
"Maksudnya setelah ada yang selesai." Pemuda itu memaksa.
"Masih ada beberapa antrian dan sebentar lagi jam makan siang. Para montir harus beristirahat secara bergiliran."
"Saya bisa bayar berapapun. Lagipula, aku sudah tanya mereka," tangannya menunjuk orang-orang di ruang tunggu, "beberapa dari orang-orang itu juga cuma tambah angin dan ganti oli saja. Berapa sih?"
"Tidak." Robi langsung menolak, sama sekali tidak ada basa-basi. "Apa pun jenis servis dan kendaraannya tetap dikerjakan sesuai nomor antrian."
"Jangan sok, tanyakan dulu pada para montir itu, siapa tahu ada yang bersedia mendapat uang tambahan. Lumayan, aku bisa bayar berapa saja, asal cepat."
"Tidak." Robi menjawab tegas. "Mereka tidak akan kerja di luar jam yang sudah diatur."
"Ya, aturlah supaya ada yang bisa lembur. Beneran sedang urgent banget ini. Berapa pun biayanya, nggak masalah asal selesai cepat."
"Maaf." Robi mengangguk sekali, sebelum meninggalkan pemuda itu melongo sendiri.
"Buruk sekali pelayanan di bengkel ini!" Pemuda itu mengambil ponsel untuk merekam. "Kalau seperti ini caranya, lebih baik tidak usah ke Zaro Ban. Masih banyak bengkel lain yang lebih bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...