11. Saranghaeyo

624 71 7
                                    

Yura melingkarkan lengannya dengan erat ke sekeliling leher Robi, sementara lelaki itu membopongnya. Meski dirinya berkata bisa duduk di boncengan motor Robi dengan baik, tetapi suaminya itu berkeras untuk memboyongnya saja. Jadi, ia pun mengalah.

Mereka melewati jalan seperti yang tadi dilalui Yura dan Salwa. Yura tak tahu pasti karena jalanan itu rasanya seperti sama saja. Dan jalanan itu sepi. Yang terdengar hanya deru napas Robi yang memburu.

"Kalau capek, kita bisa—"

"Nggak ada yang bilang capek!" Robi menjawab garang, membuat Yura mengkerut dan tak mengatakan apa pun lagi. Namun, dalam hatinya merasa bahagia oleh perhatian Robi. Seumur hidup, baru Robilah orang berani bersikap tegas dan membentaknya sebagai bentuk perhatian. Kedua orang tuanya juga tegas, tapi terlalu banyak menuntutnya untuk selalu sempurna.

"Aku berat ya?" Yura mencoba memecah keheningan.

"Nggak."

Yura meringis mendengar jawaban sengak Robi, tetapi ia tahu itu bukan karena amarah atau benci. Yah, ia tak tahu alasan pastinya, yang jelas bila memang Robi muak padanya, lelaki itu tak akan Sudi membopongnya yang sedang berbadan dua melintasi hujan yang kadang jalannya pun tak rata.

Tatapannya berhenti pada lekuk di leher Robi yang berdenyut. Ia tergoda untuk menyentuhnya, tetapi karena kedua lengannya sedang berpegangan di leher lelaki itu, ia malah mengecupnya. Seketika langkah Robi terhenti.

"Kalau kau tak bisa diam dan tenang, aku bersumpah akan membaringkanmu di semak-semak, tak peduli ada orang lewat!" Robi berbicara sembari mengeratkan rahang.

"Sorry. Aku ... Yah, aku tak tahu mengapa melakukan itu." Yura malu sendiri oleh tindakannya. "Tadi, kulihat bagian situ berdenyut-denyut lucu, jadi, aku tiba-tiba saja melakukannya."

Robi diam tak menjawab. Tatapannya terus lurus ke depan dengan raut kaku. Langkahnya pun kian cepat.

Beberapa saat kemudian, Robi berhenti, tapi tetap belum menurunkan Yura hingga akhirnya Yura yang sedang bersandar nyaman di dadanya mengangkat kepala dan melihat apakah mereka sudah tiba di rumah. Akan tetapi, tempat itu bukan rumah. Maksudnya bukan bukan rumah Robi.

"Di mana ini?"

Robi tak menjawab karena saat itu pintu depan rumah itu terbuka dan seorang wanita paruh bayar ke luar.

"Astaga. Ada apa, Nak?" Ibu itu langsung menyingkir dari pintu agar Robi bisa lewat. "Masuk. Langsung baringkan saja ke tempat tidur."

Tanpa banyak kata, Robi langsung menuruti instruksi itu. Laluz ia menjelaskan apa terjadi pada Yura dengan cepat.

"Oalah, kasihan sekali. Memang kalau nggak hapal jalanan di sana lebih baik tidak usah coba-coba lewat sana sendiri."

Yura menatap Robi sambil mendelik karena malu Robi mengatakan yang sejujurnya pada wanita itu, tetapi lelaki itu pura-pura tidak melihatnya dan berkata "Saya khawatir bayi saya kenapa-kenapa, Bu Bidan."

"Ya, ya, kita akan lihat." Bidan yang sudah berumur itu menjawab sambil mempersiapkan banyak peralatan, termasuk alat untuk mendeteksi detak jantung bayi, perlengkapan untuk membersihkan luka, tensimeter, dan stetoskop.

Selama diperiksa dan dibersihkan luka-luka di tubuhnya, Yura hanya bisa terdiam. Ia terlalu terkejut hingga tak bisa berkata-kata ketika Robi menyebut 'bayi saya'. Itu pengakuan yang memang tidak terlalu penting baginya, karena sampai detik itu perasaannya terhadap bayi yang ada di perutnya masih abu-abu. Namun, mengapa justru Robi yang mengkhawatirkan kondisi bayi itu?

"Detak jantung bayinya sehat, hanya tensi ibunya yang sedikit lebih tinggi. Mungkin efek kejadian tadi."

"Syukurlah." Robi mengembuskan napas lega. "Apa istri saya perlu nginap di sini dulu?"

Bidan itu tertawa renyah. "Enggak perlu. Istirahat saja di rumah beberapa hari, nggak usah melakukan pekerjaan berat dulu dan yang penting jangan stres. Waktu tidurnya juga diusakan cukup, ya."

"Apa istri saya boleh dibonceng motor?"

Lagi-lagi bidan itu tertawa mendengar pertanyaan Robi. "Ya, boleh. Memangnya tadi ke sini naik apa, Robi?"

"Saya gendong, Bu Bidan."

"Astaga." Bidan itu terkejut, lalu kembali tertawa. "Ya sudah, istrimu biar di sini dulu sambil istirahat. Kamu ambil motor sama baju ganti buat istrimu dulu sana."

Robi mengangguk tanpa banyak protes. Ia terpaksa membawa Yura ke bidan kampung sebelah karena di kampungnya sendiri belum ada bidan. Dulu, orang kampung mengandalkan Furi dan ibunya ketika ada yang sakit, tapi saat ini Furi pun sedang tidak ada di rumah.

"Ya sudah. Saya titip istri dan bayi saya dulu, ya, Bu Bidan."

"Iya, iya. Saya juga tak ke belakang dulu buat bikinin istrimu susu hangat. Kasian, pucat begitu."

Lagi-lagi Yura dibuat tergugu ketika Robi menyebut anak dalam kandungannya sebagai bayinya. Ia mengamati sosok di hadapannya itu dengan rasa haru tak terhingga. Perasaan yang ia miliki terhadap Robi kian bertambah, dan tiba-tiba saja dirinya sadar bahwa itulah bentuk cinta yang sesungguhnya. Ya, ia mencintai Robi dengan rasa cinta yang berbeda dari cinta yang dulu pernah ia rasakan terhadap semua mantannya, termasuk pada Furi.

Tiba-tiba saja semua pria yang pernah singgah di hatinya dulu tak lagi bernilai dibanding Robi. Dulu, rasanya ia hanya suka dan kagum, tapi saat ini ia telah benar-benar jatuh cinta. Rasanya lebih dalam dan lebih magis. Ia tak berharap Robi membalas perasaannya, tapi hanya bisa melihat sosoknya saja sudah membuatnya bahagia sampai ingin menangis rasanya. Ohh, inikah namanya cinta?

"Nggak apa-apa, kan, kutinggal dulu?" Robi membelai kepalanya dengan lembut.

Yura hanya menjawab dengan anggukan kepala. Ia tak berani bersuara karena khawatir tangisnya meledak seketika. Lalu, ketika Robi mengecup keningnya, ia malah menarik leher Robi agar mendekat ke arahnya dan memeluknya erat. Untuk saat ini dan entah kapan batas waktu mereka berakhir, ia ingin memiliki Robi untuk dirinya sendiri. Ia ingin menikmati perasaan indah yang tumbuh tanpa permisi di hatinya. Tidak masalah bila Robi mencintai wanita lain, entah Dela atau siapa pun dia, ia sama sekali tak peduli, tapi selama Robi masih suaminya, Robi adalah miliknya. Dan untuk kali ini, ia akan menjaga miliknya dengan baik.

Sebelum kematian yang ia rencanakan tiba, ia ingin merasakan kebahagiaan cinta di sisa akhir hidupnya. Ia tak mau menahan diri lagi. Toh, meski pada akhirnya patah hati juga dirinya akan mati. Jadi, apa bedanya? Sekalian saja ia mencurahkan semua perasaan cinta yang masih tersisa.

"Saranghae," bisiknya di telinga Robi.

"Apa?" Robi yang bingung dengan sikap Yura pun mencoba menahan bobot tubuhnya agar tidak menimpa Yura yang sedang berbaring di tempat tidur. "Kau ngomong apa?"

"Saranghae."

"Ck! Nggak jelas." Robi yang tidak tahu maksud ucapan Yura hanya berdecak tak sabar. "Apaan?"

"Jangan lama-lama." Yura akhirnya melepaskan pelukannya dan menatap Robi sambil tersenyum lembut. "Aku nggak mau kalau nggak ada kamu."

"Ohh." Robi berkedip bingung. "Bidannya baik, kok. Meski nggak ada aku juga nggak apa-apa."

"Tetap saja, aku lebih suka kalau ada kamu." Yura tersenyum makin lebar. "Saranghaeyo."

Robi meninggalkan Yura dengan tanda tanya besar di kepalanya. Sikap istirnya itu sedikit berbeda dibanding sebelumnya. Dia terlihat lebih bersemangat dan lebih banyak tersenyum. Apa kepalanya terbentur hebat saat jatuh tadi? Ahh, sepertinya ia harus berkonsultasi dengan Furi yang memiliki pengetahuan tentang dunia kedokteran lebih baik dari bidan tadi. Segera.

***


Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang