84. Hawa

304 56 18
                                    

"Salwa beneran boleh pesen semua, Bang?"

"Kagak!" Robi mendorong pintu kafe dan menahannya sampai semua anggota keluarganya masuk. Malam ini ia membawa anak, istri, dan ketiga adiknya makan malam di luar. Sesekali tidak masalah, pikirnya. Ia menyerahkan semua pengaturan itu pada Yura. Mulai dari tempat, dana yang dianggarkan, termasuk pakaian yang dikenakan oleh semua supaya terlihat pantas dan layak.

"Kata Kak Yura boleh." Salwa merengek sembari memeluk erat lengan abangnya. "Ayoklah, Bang. Kan Abang Ketua RW sekarang."

"Apa hubungannya?"

Dengan sebelah tangan menggendong Biyu dan sebelah tangan yang lain dipegang erat Salwa, Robi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe. "Bangku yang mana, Beb?"

"Terus aja, Bi. Family area. Di sana ada Playground sekaligus baby chair untuk Biyu."

"Kau duluan ajalah." Robi menepi supaya istrinya bisa berjalan mendahului.

Malam itu kafe The Lucky sangat ramai dan penuh pengunjung. Bisa dimaklumi karena memang malam Minggu. Beruntung Yura memaksa reservasi tempat sejak pagi tadi sehingga mereka sudah pasti kebagian tempat karena di depan, tepatnya di ruang tunggu ada banyak sekali orang yang masih mengantre untuk dapat meja.

Seorang karyawan menghampiri Yura dan menanyakan meja yang akan dituju.

"F5." Yura menunjukkan bukti reservasi di ponsel pada pegawai itu.

"Di belakang." Pegawai muda dan rupawan itu tersenyum ramah, lalu mengantar mereka ke tempat yang sudah dipesan. Melihat Robi membawa balita, ia pun langsung mengambilkan baby chair dari area samping Playground dan meletakkannya di samping meja F5. "Silakan," ujarnya.

Setelah itu ia mengambil buku menu dan buku catatan pesanan di saku depan apron coklat tua yang ia kenakan. "Silakan panggil kami bila sudah siap memesan atau bisa meletakkan menu ke meja reservasi di depan."

Kehebohan terjadi sedetik setelah pegawai itu pergi. Salwa dan Nisa berebut buku menu karena sudah tidak sabar ingin melihat menu-menu yang tersedia dan memilih.

"Ahh, kenapa namanya makanannya kagak bisa dibaca?"

"Makanya aku dulu, Wa." Nisa merebut buku itu dari hadapan adiknya. Lalu, dahinya mengerut dalam. "Alamak."

Yura tersenyum. "Sini, Kakak bantu bacain menunya."

Akan tetapi, Biyu tidak bisa tenang. Ia terus mengoceh sembari berusaha merebut buku menu yang menarik perhatian karena warna-warna yang memanjakan mata.

"Hawa ajak Biyu main dulu, di Playground." Hawa memutuskan untuk membawa Biyu pergi dari sana.

"Kalau begitu kamu pilih menu dulu saja." Yura menawarkan.

"Terserah Kak Yura aja, deh. Yang penting makan." Ia menyengir lebar sembari menggendong Biyu pergi. Berbicara soal keinginan, siapa pun pasti punya selera, tetapi ia sudah berusaha menekan semua itu. Menyadari umurnya yang terus bertambah dewasa, ia pun merasa memiliki kewajiban lebih untuk meringankan beban Abang dan kakak iparnya.

Sekuat tenaga ia membuang segala hasrat muda yang menuntutnya mencari kesenangan dan jati diri. Tidak! Sebagai seorang yatim piatu ia harus tahu diri. Urusan jodoh, biar saja itu jadi urusan abangnya. Kalau toh harus menjadi perawan tua, ya sudah. Memang ia tak cantik, miskin, dan bukan orang berpendidikan tinggi. Jadi, apa yang mau diharapkan darinya?

Mendekati Playground ada satu bilik makan yang sangat luas dengan dua  meja berbentuk oval di tengah dikelilingi sofa yang terlihat nyaman dan empuk. Besarnya saja hampir seluas total rumahnya depan dan belakang dijadikan satu. Sepertinya itu semacam bilik yang bisa dipesan khusus semacam arisan keluarga atau sejenisnya.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang