72. Tak Berdaya

329 55 7
                                    

Hari masih gelap. Suasana tenang, hanya terdengar sayup-sayup suara adzan subuh di kejauhan. Yura sudah bergelut di dapur karena ia tak bisa kembali tidur setelah berhasil menidurkan Biyu yang malam tadi terbangun dan minta bermain. Ia memutuskan untuk membuat minuman coklat hangat lebih dulu karena semalam udara sedikit menusuk kulit.

Robi tidak ada di sana. Suaminya itu sedang menemani Mas Aris di teras. Kekasih sahabatnya itu sedang terpukul. Sejak pulang dari hotel semalam dia hanya duduk diam di teras dengan tatapan kosong hingga Robi tak sampai hati meninggalkan dia sendiri. Mas Aris seperti kehilangan semangat hidup, bahkan sebagian jiwanya. Dia tidak merespon ketika Robi mengajak bicara. Dia juga seolah tidak merasa ketika Robi menyelimuti tubuhnya dengan selimut cadangan yang Yura berikan.

Yura bekerja dalam diam. Ia membuat coklat panas di dalam teko kaca, lalu menuang segelas untuknya sendiri, sementara sisanya ia letakkan di atas nampan dengan dia gelas. Ia mengantar minuman panas itu ke teras.

Mas Aris masih sama seperti semalam. Dia duduk bersandar dengan bahu dan kepala terkulai. Bedanya, kali ini matanya terpejam. Robi berada di sisi lain teras, berhadapan dengan Mas Aris. Dia juga tidur dengan kepala disandarkan pada pagar beton setinggi pinggang di depan rumah mungil mereka.

Yura mendesah tertahan lihat posisi kepala suaminya yang terlihat tak nyaman. Ia meletakkan nampan berisi coklat itu di meja teras, lalu bergegas ke dalam untuk mengambil bantal. Dengan gerakan lembut, ia mengangkat kepala suaminya dan meletakkan bantal kecil milik Biyu ke bawahnya, tetapi gerakan itu ternyata malah membangunkan Robi.

"Beb?" Robi mengerjap bingung.

"Sstt, tidur lagi aja." Yura mengusap pipi suaminya dengan penuh kasih.

"Jam rapa?" Robi mengucek matanya yang terasa sepat. "Ahh, kau bawa minuman?"

"Hmm, coklat hangat. Mau?"

"Yup." Robi menegakkan badan, lalu meregangkan lengan dan badannya yang kaku. "Dingin banget di sini."

"Memang. Harusnya kamu bawa Mas Aris masuk."

"Yah, kau lihat dia kayak mayat hidup begitu. Boro-boro kuajak masuk. Kutanya di mana kunci motornya aja, dia kayak orang budheg."

"Syukurlah dia bisa tidur juga akhirnya."

Yura menyerahkan segelas coklat hangat untuk suaminya. "Aku khawatir Mas Aris sakit. Dia perantauan dan tidak punya sanak keluarga di sini."

"Dia punya kita, Beb,"  Robi menyeruput sedikit coklat, "Kita nggak bakal biarin dia sendiri."

"Aku tahu." Yura setuju. "Aku juga berharap Karen baik-baik saja."

Robi mendengus sembari menatap istrinya tak percaya. "Kau bilang apa? Tentu saja dia akan baik-baik saja. Bukankah di sini Aris korbannya? Dia permainin Aris!"

Yura menyandarkan kepalanya ke pundak Robi. "Jangan gitu, Bi. Aku kenal Karen cukup baik. Dia bukan orang yang bisa dipaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dan kalau dia sudah memutuskan untuk bersama Mas Aris, itu artinya dia tidak ada niat bermain-main dengan Mas Aris."

"Jadi, menurutmu Karen bakal membatalkan pertunangan itu?"

"Aku tidak tahu, tapi aku yakin akan memprotes hal itu pada orang tuanya. Dia cukup memegang teguh prinsip dan pendirian. Di antara kami bertiga, Karen adalah yang paling bisa berpikir realistis dan dewasa."

"Nah, kenapa semalam dia tidak menahan Aris? Kenapa dia diam saja?"

Yura mendesah lirih. "Karena di sana banyak tamu undangan. Sebagian adalah kawan dan kolega orang tuanya. Dia tidak bisa mempermalukan mereka di sana dan membuat saham perusahaan keluarganya anjlok."

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang