"Kakak cantik."
"Makasih." Yura tersenyum mendengar komentar adik Robi yang paling kecil. Namanya Salwa. Dia masih kelas tiga sekolah dasar dan rasa penasarannya cukup tinggi hingga semua hal yang ia lihat pun terus ditanyakan tiada henti. Gadis kecil itu pun ikut naik ke ranjang pasiennya, duduk di hadapannya sembari memeluk tangannya dengan penuh rasa sayang.
Ia terkejut saat beberapa menit yang lalu seluruh anggota keluarga Robi datang ke rumah sakit untuk menjenguknya sekaligus membahas teknis pernikahan mereka. Ayah Robi pun turut hadir. Dan yang membuat Yura merasa terharu adalah, pria paruh baya itu sama sekali tidak memandang rendah dirinya. Tutur katanya pun sopan, berbanding terbalik dengan Robi yang ceplas ceplos.
Adik Robi yang pertama bernama Hawa. Dia sudah kelas tiga sekolah menengah atas, sementara di bawahnya ada Nisa yang sekolah kelas dua SMP. Keduanya cukup senang mengetahui bahwa Yura akan menjadi kakak mereka. Meski tidak seheboh Salwa, keduanya pun berbinar gembira menyambut kabar gembira pernikahan kakak laki-laki mereka satu-satunya.
"Kakak putih banget, sih." Salwa menempelkan lengannya dan Yura untuk membandingkan warna kulit mereka. "Makan apa bair putih gini?"
"Salwa cantik, kok." Yura tersenyum. "Lagipula, cantik nggak harus putih.
"Huh! Aku pingin putih." Salwa mengerucutkan bibir.
"Cerewet!" Robi menyahut sekenanya.
"Apa, sih, Bang Robi ini." Salwa menjulurkan lidah ke arah abangnya itu.
"Kak Yura harus sabar pokoknya kalau ngadepin Bang Robi. Cerewetnya ngalah-ngalahin Emak." Begitu ujar Nisa yang langsung mendapat hadiah jitakan di kepala dari Robi.
"Tapi, Bang Robi baik, kok, meski kadang jahilnya bikin kesel setengah mati." Hawa menambahkan malu-malu.
"Ohh, dia jahil dan bukannya jahat?" Yura bertanya sembari melirik Robi yang pura-pura cuek, tapi ia tahu saat dirinya tidak mihat, Robi terus mengawasinya. Mungkin, Robi takut adik-adiknya mengatakan hal-hal buruk padanya atau bisa jadi sebaliknya. Tapi, tidak juga, rasanya sejak ia setuju untuk menerima kesempatan yang Robia tawarkan, lelaki itu menjadi sedikit lebih protektif padanya.
"Jahat?" Nisa bingung. "Enggak, sih. Malahan Bang Robi selalu nurutin apa yang kita mau."
"Iya, loh, Kak." Si kecil Salwa ikut menyahut, lalu mulai mengoceh menceritakan apa saja yang biasanya Robi lakukan untuk mereka.
Ia cukup terkejut mendapati bahwa lelaki kasar seperti Robi ternyata begitu menyayangi adik-adiknya. Setiap akhir pekan, Robi akan membawa ketiga adiknya ke mini market tak jauh dari jurang akhir untuk membelikan mereka semua es krim atau kadang coklat. Dan kalau salah satu dari mereka merengek meminta dibelikan baju, sepatu, atau tas, Robi akan menyanggupi itu dan begitu ada uang, ia langsung membawa adiknya itu ke toko untuk membeli apa yang mereka mau.
"Pokoknya Bang Robi itu, Abang terbaik di dunia deh," ucap Salwa mengakhiri penjelasannya.
"Wah, kalian beruntung sekali, ya?" Yura tersenyum pada mereka semua.
"Kalau Kak Yura, punya sodara, nggak?" Salwa yang belum mengerti apa-apa itu bertanya lugu, membuat Yura seketika tergugu. Membahas soal keluarganya seperti mengorek luka yang ada di hatinya.
"Woi, jangan ngoceh terus. Capek ini telinga dengernya!" Robi menghardik Salwa, tetapi semua tahu itu bukan bentakan serius karena Hawa dan Nisa tersenyum mendengarnya. "Kak Yura baru sembuh. Bisa gagal nikah Bang Robi kalau Kak Yura kau bikin lelah begitu."
"Masak ngobrol aja bikin capek, sih?" Salwa cemberut.
"Suaramu melengking kek peluit kereta api."
"Wuu, Bang Robi gitu. Kata guru kesenian di sekolah, suara Salwa merdu, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...