Yura lelah menunggu Robi. Ini sudah hampir jam sepuluh malam. Setelah lelaki itu pergi tanpa pamit sejak subuh tadi hingga detik itu, ia masih terus menanti. Perasaannya tak keruan. Ini hari pertamanya berada di rumah Robi, seharusnya lelaki itu memandunya, menemaninya dan mengenalkan ia pada sanak saudara yang masih menginap di rumahnya, bukan malah meninggalkan dirinya demi seabrek pekerjaan. Atau jangan-jangan lelaki itu hanya mencari alasan saja demi menghindari darinya?
Perasaan Yura begitu buruk. Satu pertanyaan besar terus bercokol di benaknya. Apakah Robi menyesal menikah dengannya? Jika iya, itu karena pengakuannya semalam atau karena gadis bernama Dela?
Ia bertekad untuk menunggu Robi dan menanyakan pertanyaan itu secara langsung. Mumpung pernikahan mereka belum berjalan terlalu jauh. Mengakhiri semua sekarang rasanya masuk akal daripada bertahan dalam tekanan dan rasa tak nyaman. Tapi, apakah dirinya sudah siap untuk jauh dari Robi?
Setitik air mata menetes di pipi. Memikirkan tidak bertemu lelaki itu saja rasanya sudah berat. Ia tak tahu sejak kapan, tetapi sungguh ia membutuhkan kehadiran lelaki itu. Karena seperti seharian ini, ketika tidak bertemu Robi, ia merasa gelisah dan tak bersemangat. Ternyata benar apa kata Dilan bahwa rindu itu berat. Sangat berat.
Ia terus memikirkan Robi hingga tak terasa kantuk menyergap dan ia pun terlelap. Dan keesokan paginya, lagi-lagi dirinya terbangun sendirian saja.
Alisnya bertaut heran ketika mendapati selimut menutupi tubuhnya. Seingatnya, semalam ia hanya berbaring menunggu Robi dan tidak mengenakan selimut, tapi rupanya ia tertidur. Jadi, siapa yang memakaikan selimut itu? Apakah Robi?
Mengingat Robi langsung membuatnya terjaga dan melompat bangun. Tanpa mempedulikan kondisi perutnya yang besar, ia berlari ke luar kamar.
Halaman belakang kosong, jadi ia langsung masuk ke rumah utama dan berhenti di ruang tengah di mana ibu mertuanya sedang mengeluarkan buah-buahan dari kresek.
"Neng. Ada apa?"
"Abang mana, Bu?"
"Ohh, habis anterin Emak ke pasar tadi, dia ke rumah sakit, antar makanan sama minuman buat Furi. Bentar lagi juga balik soalnya dia belum sempet sarapan juga."
"Oooh, ke rumah sakit. Kok, nggak ajak Yura, ya, Bu?" Yura cemberut, lalu duduk di samping mertuanya.
"Ya, mau bangunin Eneng nggak tega mungkin."
"Yura kangen juga sama Lana."
"Besok kalau ke sana lagi, tapi biasanya pagi dia ke sana anterin kopi kesukaan Furi."
"Iya, Bu. Itu buahnya buat apa? Banyak sekali?"
"Buat jualan jus, Neng. Ya, kita sudah libur beberapa hari. Pelanggan pada nanyain. Jadi, mumpung malam tadi semua keluarga sudah pamit pulang karena pada kerja, kita mulai jualan lagi hari ini."
Yura mengangguk beberapa kali. "Yura bantuin, boleh?"
Gerakan ibunda Robi terhenti di udara, lalu ia menoleh sambil tersenyum lembut. "Nggak usah. Ehm, gini aja, bisa bantu Emak bangunin Salwa? Udah jam segini, dia belum mandi dan berangkat sekolah."
"Kalau Hawa dan Nisa?"
"Mereka sudah siap berangkat. Maklum udah pada kelas 3, jadi ada kelas tambahan pagi buat persiapan ujian kelulusan."
Yura mengangguk, lalu langsung menuju kamar yang ditempati adik-adik Robi. Mereka tidur dalam satu kamar karena di rumah itu tidak ada cukup ruang untuk kamar mereka sendiri-sendiri.
"Ayok, mandi." Yura membelai kepala Salwa dengan lembut. "Nanti telat, loh."
"Ahh, Kak, kenapa harus sekolah, sih." Salwa mengucek matanya yang terasa sepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...