46. Kesetiaan

499 73 8
                                    

Beberapa hari setelah lahan untuk pembangunan jalan dibersihkan oleh warga, proyek pembangunan pun sudah mulai dikerjakan karena surat perizinan dan dokumen kepemilikan lahan juga selesai diurus. Dengan begitu, Yura menjadi sangat sibuk. Setiap hari ia harus membagi tugas warga untuk menyiapkan makan dan minum untuk para pekerja dengan dana berasal dari orang tua Lana.

Karena sebagian para ibu di kampung juga ikut bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, Yura tak mau terlalu merepotkan mereka. Maka, Yura harus menyusun semacam jadwal untuk petugas konsumsi setiap harinya. Dan dari jadwal itu nanti ia akan membagi lagi tugas masing-masing dari mereka. Siapa yang membuat minum, kue, atau bagian mencuci semua bekas makanan dan minuman itu di sore harinya ketika para pekerja sudah pulang. Sementara untuk makan siang, ia memesan dari warga yang memiliki rumah makan atau terkadang memesan online sebagai menu variasi.

Selain itu, meski bukan tugas resmi untuknya, Yura juga menyiapkan banyak hal untuk pekerja entah mereka membutuhkan atau tidak seperti sabun cair untuk cuci tangan, sabun mandi, shampo, tisu kering, tisu basah, handuk bersih, memastikan kran air tetap menyala, dan masih banyak detail-detail lagi yang membuat para pekerja tidak merasa kekurangan sedikit pun.

Furi dan Lana sebagai perwakilan dari orang tua mereka yang memiliki proyek itu sudah memberi keleluasaan kepada Yura untuk mengatur semua itu. Mereka juga telah menitipkan sejumlah dana untuk Yura kelola.

Siang itu, sambil merapikan bekas makan para pekerja, Yura sekalian mengecek botol-botol sabun yang ia sediakan untuk para pekerja proyek. Seperti biasa, ia hanya mengenakan daster batik murahan dengan rambut disanggul seadanya tinggi ke atas. Itu rupanya menarik perhatian seorang pria yang selama beberapa hari itu terus memperhatikannya.

Pria itu menunggu para gadis yang membantu Yura pergi sebelum mendekati Yura.

"Saya khawatir orang-orang ini malah betah berlama-lama menggarap proyek di sini kalau seperti ini cara kamu menjamu mereka."

Yura menoleh mendengar komentar itu. "Ohh, Mas Agung." Ia tersenyum hangat. "Saya hanya berharap mereka mendapat yang terbaik di sini."

"Di tempat lain, mereka sudah terbiasa tidak terlalu banyak makan dan minum. Mandi di rumah dan bekerja keras."

"Hmm, saya yakin mereka akan tetap bekerja keras meski mendapatkan makan dan minum cukup, kok." Yura tetap tersenyum karena ia tahu Mas Agung tidak serius dengan ucapannya. Terlihat dari kedua sudut bibir pria itu yang berkedut menahan senyum.

"Tentu saja. Kebanyakan dari mereka berasal dari pelosok yang hanya bisa pulang seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Cukup beruntung warga kampung bersedia menyediakan satu rumah untuk mereka tempat selama mengharap di sini dan mengirim makanan yang cukup."

"Karena kita sama-sama manusia, Mas. Sebagian dari warga di sini juga bekerja sebagai kuli, buruh, atau serabutan lainnya. Kami tahu rasanya ...." Yura tidak melanjutkan ucapannya ketika Mas Agung tidak terlihat fokus mendengarkan perkataannya. Pria itu justru terus menatapnya dengan sorot yang membuatnya gelisah.

"Kamu tidak kuliah?" Mas Agung bertanya dengan nada rendah. "Rasanya sayang bila gadis yang cekatan dan cukup teliti seperti kamu tidak mendapat pendidikan yang baik."

"Saya sempat kuliah, tapi sekarang tidak lagi. Saya tidak menyesalinya. Saya suka seperti ini, melakukan banyak hal berguna untuk kampung ini." Yura menjawab singkat saja karena ia tak mau harus cerita panjang lebar mengenai alasannya berhenti kuliah.

Mas Agung mengangguk beberapa kali, tetapi tidak menanggapi ucapan Yura. Matanya terus menatap segelintir rambut Yura yang terlepas dari sanggulnya, sementara tangannya sudah gatal ingin merapikan rambut yang menjuntai di samping telinga Yura itu.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang