59. Interogasi

507 81 8
                                    

Udara yang terasa panas dan pengap membuatnya terbangun. Ia terkejut karena ranjang di sebelahnya kosong. Sambil mengamati sekitar, mencari sosok suaminya, ia bangun mengambil minum di dapur.

Kamar mandi kosong dan gelap. Sofa pun kosong. Jadi, ke mana Robi? Mengapa tidak membangunkan dirinya untuk berpamitan?

Ia melangkah pelan ke pintu, lalu menyibak gordennya sedikit untuk mengintip ke luar. Ternyata sosok yang ia cari ada di teras, duduk di lantai sambil bersandar di pagar beton yang sekaligus berfungsi sebagai pot.

Ia menggeser pintu kaca itu. "Bi?"

Suaminya menoleh, lalu menatapnya dengan wajah lesu dan murung. Dia hanya diam menatapnya, tidak mengatakan apa pun. Ia mendekat, lalu bersimpuh di samping Robi. "Dingin, loh. Masuk, yuk?"

Robi menggeleng, lalu memalingkan wajah darinya. "Kau masuklah," ujarnya dengan nada dingin.

Bukannya menurut, Yura malah beringsut naik ke pangkuan Robi. Dengan kedua telapak tangannya, ia memegang kedua pipi Robi dan memaksa suaminya itu untuk membalas tatapannya. "Apa ada masalah?"

Suasana sunyi karena Robi masih memilih untuk diam. Hanya tatapan yang menyiratkan luka dan entah ekspresi apa itu, Yura tidak mengerti, yang dia tunjukkan. "Aku minta maaf," ucapnya lirih. "Seharusnya aku tidak menggodamu seperti tadi. Seharusnya aku lebih memikirkan perasaanmu, Bi."

Robi mendesah. Kekesalannya sedikit mereda melihat penyesalan di wajah Yura, tapi itu tetap saja tidak bisa merubah fakta bahwa dua mantan pacar istrinya dulu bukan orang sembarangan. Yang pasti tidak miskin dan jelek seperti dirinya. Ia sudah bertemu Bara dan melihat bagaimana penampilan cowok itu dan si Jeff, siapa yang tidak tahu dengan aktor yang sedang naik daun itu? Dia langganan jadi pemeran utama film-film favorit baik para remaja maupun ibu-ibu muda. Itu membuat perasaannya buruk dan tidak berdaya.

Yura mengusap lembut kedua pipi Robi dengan ibu jarinya, lalu mengecup keduanya dengan penuh kasih. "Aku janji tidak akan menyebut soal mantan lagi kalau itu membuatmu kesal setengah mati. Tapi, Bi, siapa pun mantanku dulu, untuk sekarang ini hatiku sudah penuh oleh cintaku padamu. Rasanya aku tak akan bisa mencintai siapapun lagi."

Kedua sudut mulut Robi bekedut, ingin tersenyum, tetapi dia menahannya. Rayuan maut Yura selalu sukses membuat hatinya melambung gembira, tapi ia masih kesal.

"Kamu nggak mau maafin aku untuk yang tadi dan untuk semua masa laluku?" Yura menurunkan tangannya dari wajah Robi, lalu menyandarkan kepalanya ke ceruk leher suaminya itu. "Harus dengan cara apalagi untuk membuatmu percaya kalau di hatiku cuma ada kamu, Bi?"

Robi melingkarkan kedua lengannya, melingkupi Yura dari dinginnya malam. "Ceritakan tentang semua mantanmu. Jangan ada yang terlewat."

Yura seketika berdiri tegak dan melotot pada Robi. "Untuk apa?"

"Lebih baik aku tau semuanya sekarang, jadi sakitnya biar sekalian. Supaya besok-besok aku nggak perlu ngerasa kayak gini lagi."

"Ohh, Bi. Apakah itu penting? Kamu bilang masa lalu tidak perlu diingat lagi, bukan?"

"Untuk urusan satu ini, aku butuh tau, Beb. Aku serius!"

"Bi." Yura kembali memeluk Robi dengan kepala ia tumpukan di atas pundak suaminya itu.

"Aku butuh tahu semua sekarang, Beb." Nada suara Robi begitu merana membuat Yura merinding mendengarnya.

"Nggak usah, Bi."

"Beb, kalau aku belum tahu semua, aku nggak bakal bisa tenang. Tolong bantulah."

"Nanti kalau kamu jadi lebih parah dari ini gimana? Ngehidari aku, mulai bahas perceraian, dan sejenisnya."

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang