82. Keyakinan

394 55 5
                                    

Yura menangkap isyarat adik iparnya, Hawa, berupa tatapan memohon. Sore tadi sepulang mengajar, Hawa menemuinya dan bercerita bahwa salah seorang pemuda dari kampung sebelah yang bernama Agus sudah beberapa waktu belakangan ini mendekati dirinya secara diam-diam. Malam ini pemuda itu ingin berkunjung ke rumah. Hawa memohon pada Yura untuk berbicara pada Robi mengenai masalah itu. Karena seperti yang sudah-sudah, Robi selalu berubah menjadi singa kelaparan kalau sudah membahas soal itu.

"Kamu suka dia?" Yura ingin memastikan apakah pertemuan itu layak upayakan atau tidak.

Hawa menggeleng. "Belum, sih, Kak. Tapi Hawa nggak sok jual malah atau terlalu pilih-pilih, kan?"

"Maksudnya?"

"Yah, Kak Yura jangan pura-pura kagak ngerti. Liat, dong, Hawa buluk begini, siapa lagi yang mau?"

Yura berpura-pura mengamati adik iparnya itu, lalu tersenyum penuh pengertian. "Kamu cantik, kok."

"Ahh, Kakak."

"Serius."

"Yang bilang gitu palingan cuma isi rumah ini doang."

Yura menyentuh pundak Hawa. "Gini, setiap perempuan itu cantik dengan cara ya sendiri. Kalau, belum ada cowok yang nyantol, bukan berarti kamu nggak cantik. Jadi, jangan merendahkan diri karena itu. Kamu tetep harus punya standar tinggi."

Hawa memasang wajah sendu. "Gimana bisa Kak Yura ngomong gitu sementara Kak Yura memilih Abang buat jadi suami?"

"Ehh, Abang tuh termasuk cowok langka, loh. Jarang ada cowok kayak Abang. Andai waktu diulang pun Kakak bakal tetep pilih Abang. Standar tinggi itu bisa dari beberapa kriteria. Bukan hanya sekadar tampilan atau materi aja, Hawa. Contohnya, ya, Abang itu."

Hawa meringis meragukan ucapan kakak iparnya. "Jadi, menurut Kakak apa yang bikin Abang itu jadi cowok mahal?"

"Banyak." Yura tersenyum lebar. "Coba pikir apa aja yang udah Abang lakuin buat kita semua selama ini dan berapa cowok yang mau kayak gitu?"

"Ohh, karena itu doang?" Hawa mencebikkan bibir.

"Hawa, harga termahal dari seorang laki-laki itu ada di tanggung jawab. Percaya, deh, sama Kakak. Suatu hari nanti kamu bakal ngerti itu. Makanya, jangan salah pilih dan menurutku untuk urusan cowok, kamu patut minta pendapat Abang, deh."

"Yah, tapi Hawa udah telanjur iyain, Kak. Masak mau dibatalin gitu aja? Nggak enak, dong."

"Ya udah, untuk kali ini Kak Yura bantu ngomong sama Abang, tapi ini cuma kunjungan biasa aja, ya. Sebatas teman mengunjungi teman?"

"Iya emang kami nggak ada hubungan apa-apa, Kak. Cuma coba Deket aja dulu."

Robi sedang bersila di depan Biyu yang bermain di dalam kolam bola kecil yang dibelikan Karen. Yura menyusul duduk di sampingnya. Ia memasang senyum terbaiknya.

"Da pa?" Robi membalas senyumnya sembari menaikkan sebelah alis. Ia seperti tahu bahwa Yura sedang ingin meminta sesuatu darinya.

"Nggak ada. Memangnya ada apa?" Yura salah tingkah karena niatnya sudah terbaca sejak awal.

Robi tergelak. "Beb, dari wajah kau dah keliatan ada maunya.

"Ehh, masak, sih?" Yura meraba wajahnya. "Beneran nggak ada apa-apa, kok."

"Ck!" Robi tersenyum mengejek. "Kita liat lima menit lagi kau bakal ngomong apa. Kalau beneran kagak minta apa-apa, ku bakal tidur di luar sebulan."

Yura mengerucutkan bibir. Ia sudah hampir menerima tantangan itu demi menjaga gengsi, tetapi ketika matanya menangkap bayangan Hawa yang mengatupkan kedua tangan di depan dada, ia pun mendesah kalah. "Sebenarnya-"

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang