Niatnya pulang hanya untuk menyantap satu dua kepal nasi, lalu kembali berangkat ke Jurang Akhir. Jadwal jaganya masih siang nanti, tetapi ia butuh menyibukkan diri sebagai pengalihan pikiran. Ia masih belum siap bertemu dan bercakap-cakap dengan istrinya karena setiap berhadapan dengan Yura, pikirannya langsung korslet karena sangat menginginkan istrinya itu.
Yah, secara status memang ia berhak atas Yura sepenuhnya, tetapi ia pun harus sadar diri. Yura mau menikah dengannya bukan karena cinta atau perasaan sejenis itu. Ia tak mau wanita itu lebih memilih mati daripada harus bertahan bersamanya. Bila ia memaksakan kehendaknya, ia khawatir itu membuat Yura tertekan.
Setiap detik yang ia lalui sejak malam pengantin mereka, ia selalu membayangkan bagaimana rasanya menyentuh kulit Yura secara langsung, mencumbu, dan ....
Akan tetapi, ia malah mendapati emaknya menunggu kedatangannya dengan raut panik di teras rumah.
"Lama bener. Dari mana aja?"
"Lha, pan dari rumah sakit." Robi menjawab cuek sambil memarkir motor bututnya di depan warung jus emaknya. "Mang Napa?"
"Cepetan kamu ke sekolah Salwa." Emak Robi berbicara sambil terus menatap ke ujung jalan yang menuju area hutan belakang kampung. "Tadi, si Eneng ikut antar Salwa ke sekolah. Katanya sambil jalan-jalan biar lebih kenal sama kampung sini, tapi ini udah dua jam lebih belum balik juga. Apa dia nungguin sampai Salwa pulang apa gimana?"
"Yaelah, kenapa Mak ijinin dia kelayapan sendirian?" Robi kembali menaiki motornya, lalu langsung tancap gas tanpa mengatakan apa pun pada emaknya. Ia kesal karena Yura keluar tanpa izinnya. Padahal, mereka sudah sepakat bahwa Yura tak akan melakukan apapun tanpa izinnya.
Bukan berniat mengekang, tapi Robi sudah cukup banyak mendengar dan melihat bagaimana reaksi setiap laki-laki bila berhadapan dengan istrinya. Sejak hari pertama mereka menikah saja, telinganya serasa panas oleh banyaknya kaum Adam yang jatuh hati pada istrinya. Bahkan, ada yang tetap kukuh mengatakan bahwa ia menggunakan jasa dukun untuk memikat Yura agar mau menikah dengannya terlepas dari gosip ia menghamili istrinya itu.
Robi memilih jalan raya agar lebih cepat sampai ke sekolah menggunakan motor.
Tak sampai lima menit, ia sudah memarkir motornya di depan gerbang sekolah Salwa. Kebetulan saat itu adiknya sudah jam istirahat pertama, jadi dia langsung berlari menghampiri sambil berteriak kegirangan.
"Bang Robi."
"Kak Yura mana?" Robi langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Kan, di rumah." Salwa menjawab bingung.
"Nggak ada. Kata Emak, tadi ikut kamu ke sini."
"Ya, tapi sudah pulang. Seru, deh, tadi Salwa ajak lewat jalan tikus biar Kak Yura senang."
"Ck! Ngapa lewat sana, Salwa?" Robi mengacak-acak rambutnya, kesal bercampur khawatir. "Kenapa nggak lewat jalan biasa aja?"
"Ya, kan, lebih Deket dan pemandangannya lebih bagus."
Robi memejamkan mata sembari mengatur napas. "Jadi, Kak Yura sudah balik tadi?"
Salwa mengangguk dengan raut bingung bercampur takut. "Emang kenapa, Bang?"
"Nggak papa. Udah, balik masuk sana!" Robi menghela adiknya untuk masuk kembali ke sekolah, lalu menaiki motornya lagi, menyusuri jalan yang menuju jalan setapak di tepi hutan.
Ia memarkir motornya di ujung jalan, lalu melanjutkan menyusuri jalan setapak itu berjalan kaki. Matanya meneliti jalan mencari jejak wanita yang sudah berani memporak-porandakan hatinya tanpa permisi.
"Beb!" Ia berteriak kencang. Setelah berteriak, ia diam sembari menajamkan pendengaran, tetapi tidak mendengar balasan apa pun. Ia pun masuk makin jauh ke hutan. Sejak kecil hutan pinus itu sudah jadi tempat bermainnya bersama anak-anak kampung, jadi ia sudah hapal daerah situ.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...