Hari itu Yura cukup sibuk. Bersama Bu RW dan beberapa ibu-ibu muda lain di kampung, ia mulai mempersiapkan keperluan untuk acara hari kunjungan pejabat yang tinggal beberapa hari saja. Robi sudah menemui Bu RW, meminta supaya istrinya tidak dilibatkan karena masih proses penyembuhan, tetapi Bu RW berhasil meyakinkan bahwa Yura tidak akan bekerja secara fisik. Semua orang membutuhkan Yura untuk mengatur dan memberi arahan saja apa-apa yang harus dipersiapkan,
Dan terbukti, ketika akhirnya hari yang dinantikan tiba, semua berjalan sangat lancar dan terperinci. Baik penerima tamu, dekorasi, konsumsi, dan petugas kebersihan sudah memahami tugas masing-masing hingga tidak terjadi kericuhan akibat kerja serabutan. Tidak ada hal yang terlewat karena Yura cukup jeli dan teliti dalam semua hal. Posisi vas bunga miring sedikit saja, ia akan langsung membetulkan itu.
Selama Yura mengawasi jalannya acara dari belakang, Robi tak melepaskan pandangannya dari istrinya itu. Hari itu ia mengosongkan semua pekerjaan demi memantau Yura. Selain tak mau istrinya kelelahan, ia juga aktif memelototi setiap mata yang menyorot istrinya dengan pandangan tak senonoh.
Hari itu Yura menjadi pusat perhatian semua orang. Selain wajah dan tubuhnya yang semampai, penampilannya hari itu juga memukau. Padahal, ia hanya mengenakan jarik pinjaman dari ibu mertuanya yang ia kreasikan menjadi seperti baju. (Bisa lihat video di atas biar lebih jelas 😘)
"Woles, Bor. Mata ampe mo lepas." Dodi menepuk pundaknya. "Makanan di sana enak-enak. Tak mau incip-incip kau?"
"Otak kau makan aja isinya!" Robi menjawab tanpa menoleh. Seorang pengawal pejabat yang datang sedang mendekati istrinya. Ia menahan napas dengan postur berubah kaku, siap menerjang pria muda nan tampan yang sedang mendekati istrinya. Sedetik kemudian, ia bisa membuang napas lega ketika Yura tidak menerima uluran tangan lelaki tampan yang mengajak bersalaman itu. Sebagai gantinya, Yura tersenyum ramah sambil mengatupkan telapak tangan di depan dada.
"Gak tenang, ya, punya bini yang cantiknya kebangetan?" Dodi kembali ke samping Robi dengan piring penuh kue. "
"Iri? Ngomong, Bos!" Robi tertawa mengejek.
"Sialan!" Dodi mengumpat sambil meninju lengan Robi. "Ehm, rasanya gimana?"
"Rasa apanya?"
"Halah jan pura-pura bego!"
"Ohh!" Robi terkekeh sendiri. "Kagak usah dibayangin. Beeeh, kalo kagak inget bini butuh makan, kagak bakal deh keluar kamar. Gitu aja terus."
Dodi tersedak makanannya, lalu mendelik menatap Robi. "Sumpah, Bor, Ampe kek gitu banget rasanya?"
"Yo-a." Robi terbahak dalam hati. Padahal, dia sendiri pun hanya bisa membayangkan bagaimana Yura saat bersamanya.
Menjelang tengah hari, acara selesai. Pejabat yang berkunjung pun sudah pulang. Yura kembali memberikan arahan kepada panitia yang bertugas untuk beberes supaya pekerjaan bisa diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Siapa yang membongkar dekor, siapa yang merapikan meja kursi, siapa yang mengurus meja prasmanan dan piring kotor.
"Beb, meja bunga-bunga yang ini ditaruh mana?"
"Bebi, ini sisa makanan gimana?"
"Setelah buang sampah, aku ngapain lagi, Beb?"
Robi dongkol mendengar semua orang memanggil Yura 'Beb', tapi ia tak bisa melarang karena satu dilarang, muncul satu lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya ia harus rela, meski dalam hatinya panas membara, semua orang memanggil istrinya dengan panggilan 'Beb'. Yah, setidaknya ia tahu orang-orang itu, yang kebanyakan adalah kawannya, memanggil seperti itu hanya untuk bercanda. Mereka seperti sengaja melakukan itu untuk menggodanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomansaHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...