Suasana begitu hening. Angin sepoi-sepoi yang menerpa pepohonan menambah kesyahduhan pemakaman itu. Dalam dekapannya ada Biyu, di dalam genggaman tangan kirinya ada telapak tangan Yura yang ia pegang erat. Mereka adalah sumber kekuatan dan keberaniannya untuk terus melangkah maju menyongsong hari esok.
Di hadapannya ada ketiga adiknya yang mulai bisa menerima kepergian kedua orang tua mereka. Yah, meski ia tahu ketiganya masih suka menangis diam-diam, tetapi setidaknya mereka sudah mulai bisa kembali beraktifitas dengan normal. Hawa kembali bekerja, sementara Nisa dan Salwa pun sudah bisa bersekolah seperti biasa.
Sudah satu bulan berlalu. Ia harus menata semua agar keluarganya bisa melanjutkan hidup dengan baik. Saat ini, perwalian ketiga adiknya ada padanya. Ia, dibantu Furi, sudah mengurus semua pembaruan dokumen keluarga, baik surat keterangan kematian kedua orang tuanya, juga data-data di sekolah Nisa dan Salwa. Sekarang ini ia dan Yura adalah orang tua bagi adik-adiknya.
Di tengah-tengah adaptasi karena perubahan keadaan yang tiba-tiba itu, sekali lagi ia harus mengalami kesedihan karena kehilangan calon bayinya. Yura terlalu memaksakan diri hingga kelelahan, kurang nutrisi, dan anemia cukup berat. Kondisi itu menyebabkan janin yang ada dalam kandungannya tak bisa bertahan hidup. Itu menjadi satu penyesalan lain setelah rasa bersalah yang terus bercokol dalam dada karena belum sempat memberikan yang terbaik untuk emaknya.
Yang membuat Robi sempat marah dan murka adalah sikap abai Yura terhadap dirinya sendiri. Sejak orang tuanya wafat, dia sudah beberapa kali mengalami flek, tetapi mengabaikan itu. Bahkan, tidak menyampaikan hal itu pada Robi dengan alasan tidak mau menambah beban sang suami. Akibatnya, kondisi itu kian parah hingga Biyu junior harus mereka ikhlaskan kepergiannya.
Setelah menyadari bahwa dirinya keguguran dan mengalami pendarahan pun Yura tak juga memberitahu Robi. Dia menyimpan itu sendiri dan membiarkan pendarahan itu berlalu dengan sendirinya selayaknya saat dia sedang menstruasi, katanya. Entah sudah berapa banyak pembalut dia habiskan untuk itu karena belakangan dia mengaku bahwa pembalutnya langsung penuh darah bahkan sesaat setelah diganti.
Cukup melegakan tidak sampai terjadi hal-hal buruk pada Yura, tetapi Robi bersumpah untuk terus mengingat kejadian itu. Ia tak akan pernah memaafkan Yura karena telah membahayakan dirinya sendiri. Ia bertekad untuk mengurung istrinya di dalam kamar bila dia hamil lagi. Namun, di luar dugaan, istrinya justru mengusulkan satu hal yang sebetulnya berat, tetapi terpaksa ia setujui demi kebaikan bersama.
Yura ingin menunda kehamilan untuk sementara waktu ini. Ia ingin KB dengan banyak alasan yang menimpa mereka. Salah satunya supaya mereka bisa mengentaskan ketiga adik perempuan Robi.
Meski begitu, Robi meminta Yura berjanji. "Jangan pernah bertindak bodoh lagi dan jangan pernah tinggalin aku," mohonnya. "Aku nggak bakal bisa—"
"Tidak!" Yura langsung memotong ucapan sang suami. "Jangan katakan apa pun. Kita ini satu tubuh, tak bisa hidup terpisah dan tak bisa saling menyakiti."
Setelah itu mereka sepakat untuk kembali tinggal di rumah orang tua Robi karena ada tiga adik perempuan yang harus dijaga dan dirawat. Dan hampir setiap sore mereka bersama-sama pergi ke makam seperti sore ini.
"Sudah hampir gelap. Kita pulang dulu." Robi berkata pada keluarganya yang mengiyakan dalam diam.
Mereka pulang beriringan melewati jalanan hutan di mana Yura pernah tersesat dulu. Tidak ada percakapan atau canda tawa karena duka itu masih segar terasa. Namun, Robi tetap berusaha membuat suasana itu sedikit mencair. Biasanya membawa mereka semua mampir ke kedai bakso yang mereka lewati atau sekadar beli cilok di pinggir jalan.
Biasanya Salwa langsung kembali ceria dan sejenak melupakan kesedihannya. Dia akan berceloteh manja tentang banyak hal seperti dulu. Robi senang melihatnya, tetapi setelah itu ia harus menanggung konsekuensi yang cukup memusingkan kepala. Yura marah dan ngambek semalaman hingga pagi menjelang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...