39. Lanjutan Kemarin

498 71 10
                                    

Tubuhnya sekaku mayat. Ia tak berani bergerak atau bahkan bernapas terlalu keras. Vonisnya akan segera tiba, tetapi ia bingung mengapa pakaiannya harus dilucuti terlebih dahulu?

"Napa diem aja?" Robi berhenti menurunkan daster yang dikenakan istrinya setelah melepas semua kancing di bagian depan.

"Aku tidak tahu harus gimana," jawab Yura tanpa merasa takut sedikit pun. Ia rela mati di tangan Robi. Malah rasanya lebih baik seperti itu daripada harus mati bunuh diri. Ahh, tiba-tiba kisah Romeo dan Juliet menyeruak ke dalam ingatannya. Itu romantis sekali.

Robi diam selama beberapa saat. Ia sedang memikirkan cara untuk membuat Yura rileks dan menerimanya dengan cukup baik. Yah, meski sudah pernah hamil, tetapi istrinya itu disetubuhi saat tidak sadarkan diri, jadi bisa dibilang Yura tidak memiliki pengalaman sama sekali. Setidaknya ia masih punya gambaran bagaimana melakukan itu dari beberapa video yang pernah ia tonton.

"Kau keberatan?"

"Tidak sama sekaki." Yura menjawab dengan cukup tenang. "Lakukan saja."

Debaran jantung Robi tak bisa dikendalikan lagi. Ia harus segera mengakhiri siksaan itu sesegera mungkin atau menjadi gila. "Yakin?"

"Ya, Bi." Yura menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan lewat mulut. Ia tak tahu dengan cara apa Robi akan mengakhiri hidupnya. Mencekik lehernya, menusuknya dengan pisau, atau membekapnya dengan bantal? Ia tak tahu. Apa pun itu ia siap.

Akan tetapi, tindakan Robi selanjutnya justru membuatnya bingung dan gelisah. Robi mencumbu wajahnya tanpa ampun. Napas lelaki itu berbau mentol dari pasta gigi dan pipinya beraroma sabun mandi batangan.

Mungkin itu pemanasan supaya tidak membuatnya terlalu tegang, pikirnya.

Lalu, ketika cumbuan itu bergerak turun ke leher, bahu, dan dadanya, pikirannya kian kacau.  Kenapa Robi harus membunuhnya dengan cara seperti itu? Ternyata tidak menyakitkan sama sekali, malah ia menginginkan lebih dan lebih lagi.

"Bi,"

Robi tidak menjawab juga tidak berhenti. Ia seperti orang kerasukan yang kelaparan, membuat Yura seketika berpikir apakah suaminya ternyata adalah vampire? Tapi kenapa dia tidak juga menggigitnya dan mengisap darahnya?

"Ahh." Yura melenguh saat Robi akhirnya menggigit bagian paling sensitif di tubuhnya. Ya Tuhan, apa gigitan vampire harus senikmat itu?
Pantas saja Bella Swan merelakan kehidupan manusianya demi seorang Edward Cullen, pasti karena itu.

Yura ingin diam dan mati dengan tenang, tetapi tidak bisa. Robi membuatnya terus memekik dan menjerit tertahan. Itu tidak bisa dikontrol. Tiba-tiba saja teriakan lolos dari tenggorokannya dan keluar begitu saja hingga ia harus menutup mulut dengan kedua telapak tangan untuk meredam suaranya.

Tubuh Robi yang panas membuatnya tak merasa dingin sama sekali meski tanpa sehelai benang yang menempel di tubuh. Belaian telapak tangan Robi yang kasar di setiap inci kulitnya juga meninggalkan jejak kehangatan yang membuatnya melayang. Ia tak pernah tahu ada sentuhan yang begitu candu, membuatnya menginginkan lebih banyak sentuhan dan belaian, ingin dipeluk lebih erat, ingin diterbangkan sampai ... Sampai ....

Yura tak tahu apa yang ia inginkan. Ia tidak tahu ke mana semua itu akan berakhir. Ataukah semua itu akan berlangsung semalaman sampai dirinya mati?

Ohh, saat itu saja napasnya sudah tersengal dan putus-putus, tapi anehnya masih belum ada tanda-tanda bahwa paru-paru dan jantungnya akan berhenti bekerja. Padahal, kedua organ tubuhnya itu seperti sedang bergulat dengan pertaruhan antara hidup dan mati, tapi penuh dengan sensasi yang sangat membuai.

Setelah menjelajahi seluruh tubuh Yura, Robi kembali mencumbu wajah Yura. "Sst," bisiknya parau. "Jan keras-keras teriaknya, Beb."

"Bi." Hanya itu kata yang bisa Yura ucapkan. Otaknya macet total hingga ia tak bisa lagi berpikir jernih. Tubuhnya melengkung ke atas, mengundang Robi melakukan lagi. Menyiksanya sampai mati. "Bunuh aku cepat."

Robi yang dikuasai kabur gairah tak mendengar jelas rengekan Yura. Ia sibuk mengatur posisi, menenangkan tubuh Yura yang terus bergerak gelisah. Hatinya hanya berharap Yura tak akan merasakan seperti pertama kali. Ia tak akan tahan melihat Yuranya menderita.

Padahal, Yuranya tak keberatan sama sekali. Ia sudah siap mati di tangan Robi. Itu romantis. Apalagi ketika nantinya Robi menyesali kematiannya dan terus berduka selama sisa hidupnya. Itu terdengar sangat romantis. Sangat romantis.

Tiba-tiba vonis itu ia rasakan. Tidak terlalu menyakitkan, tapi cukup membuatnya terkejut dan tidak nyaman. Ia tak bisa menggambarkan secara detail dengan kata. Namun, ketidaknyamanan itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang begitu lembut dan menggelitik, membuatnya bingung.

"Beb!" Robi menggeram dengan rahang terkatup sambil bergerak perlahan menarik diri darinya, lalu kembali mendekat dan menenggelamkan diri hingga ke dasar.

Yura menahan jeritan apa pun yang seolah ingin terus terlintas dari mulut dengan menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya terasa melayang di udara, ringan, dan sangat menyenangkan.

"Apa aku sudah mati?" Ia bertanya saat Robi berhenti untuk mengatur napasnya yang memburu. "Apakah seperti itu rasanya?"

"Kau suka?" Robi bertanya serak.

Yura mendesah pelan. "Andai hal seperti ini bisa diulangi lagi."

"Kenapa tidak?" Robi menenggelamkan wajahnya di leher Yura.

"Mati hanya sekali, Bi. Mana bisa diulang sesuka hati." Yura meracau tak jelas. "Aku sungguh mencintaimu. Mati di tanganmu rasanya begitu membahagiakan."

"Mati?" Robi menyusuri tukang selangka Yura, meninggalkan jejak basah yang membuat Yura bergidik.

"Rasanya begitu." Yura berbicara tak jelas karena pikirannya kacau. Ia tak bisa lagi membedakan mana khayalannya dan mana yang nyata. Semua terasa kabur. Hanya ada dia dan Robi, berdua menikmati momen bersama dalam kedekatan yang menembus inti jiwanya.

"Robi menarik diri, menjauh dari Yura. Ia menahan bobot tubuhnya dengan kedua lengannya. "Apa aku seburuk itu sampai kau merasa seperti mati?"

"Buruk?" Yura melotot agar bisa melihat wajah Robi dengan lebih jelas dalam kegelapan. "Tidak. Kamu melakukannya dengan sangat baik sampai aku tidak merasa sakit sama sekali."

"Yah, itu karena ...." Robi mengurungkan niatnya mengatakan bahwa itu bukan lagi malam pertama Yura, jadi wajar bila istrinya itu tidak merasa seperti kebanyakan gadis perawan.

"Aku suka, Bi. Jangan merasa bersalah." Yura mengulurkan tangan memeblak rambut Robi. "Aku bahagia."

"Benarkah?" Robi sangsi karena dari suara Yura yang lemah dan melayang, kentara sekali istrinya itu sudah mengantuk.

"Ya." Yura melingkarkan tangannya ke sekeliling leher Robi, lalu diam dan perlahan napasnya menjadi teratur. Seharian itu ia sudah melakukan banyak sekali akfitias yang membuatnya kelelahan. Rasa nyaman dan nikmat yang Robi berikan membuat kantuknya tak bisa ditahan lagi.

"Beb!" Robi terkejut saat lengan yang membelit lehernya terlepas. "Yaelah, Napa malah tidur? Belum kelar juga, nih, tanggung."

Robi kembali mencumbu wajah Yura, memancing istirnya itu agar kembali membuka mata, tetapi rupanya Yura sudah betul-betul kelelahan setelah mendesah dan menjerit tanpa henti. Namun, kebutuhannya sendiri belum tuntas. Jadi, ia pun meraih kepuasan itu sendiri.

Tidak masalah. Mereka bisa mengulangi kapan saja mereka mau. Yang terpenting Yura bisa menerimanya dengan baik dan tidak ada penolakan. Yura adalah hal paling membahagiakan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Memimpikan bisa dekat dengannya saja ia tak pernah, apalagi bisa sampai seintim itu.

Setelah menumpahkan segala hasrat yang selama ini ia tahan, Robi menciumi wajah Yura sambil terus berkata bahwa dirinya sangat mencintai istrinya itu.

Suara jendela yang terkena angin malam menyadarkan Robi bahwa malam menjadi begitu dingin. Ia menyingkir dari atas Yura, menutupi tubuhnya sendiri dan Yura dengan selimut, lalu berbaring sambil memeluk tubuh Yura dengan rasa kepemilikan yang kian besar dalam dadanya. Ya, Yura miliknya seutuhnya sekarang. Ia tak bisa lagi memberi kesempatan pada istrinya itu untuk pergi atau melarikan diri darinya. Ia tak bisa lagi tanpa Yura. Sungguh tak bisa. Segala kekurangan dan kelebihan Yura sudah menjadi bagian dari cintanya.

"Bebi, love you," bisiknya sebelum ikut terlelap.

***



Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang