49. Pekerjaan

397 77 15
                                    

Acara Lana sudah selesai. Kawan-kawan dari kampung yang diundang dadakan itu pun sudah diantar pulang oleh Furi dan Pak Diding, sementara Robi, Yura, dan Lana menunggu di kafe sampai Furi kembali untuk menjemput. Lagipula, selama acara tadi, Lana tidak sempat makan karena dia terlalu bahagia melihat kawan-kawannya yang belum pernah merasakan masuk kafe itu makan hingga menambah dua sampai tiga kali. Akhirnya, setelah semua pulang, Furi memaksanya untuk memesan makanan.

Ternyata, Lana tidak hanya memesan makanan untuknya, ia juga memesan beberapa menu untuk dibawa pulang. Ada tiga paper bag besar berisi makanan yang sudah dikemas ke dalam kotak mika berukuran sedang. Ia menyerahkan satu tas ke depan Robi dan Yura.

"Buat Mak Nur dan adik-adik. Yang ini buat di pos Jurang Akhir nanti."

"Elah, apaan ini?" Robi mengerutkan dahi, tak suka. "Kagak usah."

"Robi." Lana yang sudah hafal dengan karakter Robi pun memasang wajah memelas. "Ini rezeki buat Emak dan adik-adik, loh. Aku berutang budi banyak banget sama mereka. Jangan ditolak, please."

"Kagak ada utang budi, Lana."

"Yah, setidaknya tanyakan dulu sama mereka, apakah mereka mau makanan ini. Kalau mereka menolak, kamu boleh kasih ke orang lain. Aku cuma pingin berbagi kebahagiaan aja, kok, ke mereka. Masak nggak boleh? Ini hari ulang tahunku, loh."

Lana menyenggol kaki Yura di bawah mereka, berharap sahabatnya itu mau membantu membujuk Robi.

"Bi. Kalau ini buat Ibu dan adik-adik, rasanya nggak adil, loh, kalau kamu yang nolak. Kan, kita cuma dititipin aja."

"Tapi, Beb," Robi mendesah, "Aku nggak mau mereka berharap ada kali kain macam ini lagi."

"Kagaklah, Bi." Yura tersenyum menenangkan. "Aku yakin mereka paham, kok, dengan keadaan, tapi nggak ada salahnya juga, sesekali, kalau ada rezeki, mereka merasa makan enak juga."

Robi diam, tak menjawab lagi. Dia hanya menatap ke luar kafe dengan wajah kaku. Jadi, Yura yang mewakili mengucapkan terima kasih pada Lana.

Tidak lama berselang, Furi datang. Dia langsung mendatangi Lana dan mengecup kening istrinya itu dengan penuh kasih. "Sudah makannya?"

"Udah. Nih, piringnya kosong."

"Pinter." Furi mengusap-usap rambut Lana. "Mau balik sekarang?" Ia bertanya pada Robi dan Yura.

"Baliklah. Nggak enak, nih, ninggalin pos pas jam jaga." Robi langsung berdiri, lalu membantu menarik kursi Yura agar istrinya itu bisa berdiri dengan mudah.

"Bor, Mamat sama Junot dari kampung sebelah dengan senang hati gantiin jaga. Mereka lagi nganggur juga. Aku sudah kasih kompensasi. Nah, Lana juga sudah pesenin makanan buat mereka. Santai dikitlah."

"Oke," jawab Robi singkat. Ia masih kesal soal beberapa kotak makanan yang diberikan Lana untuk keluarganya. Namun, meski begitu ia tetap tidak membiarkan Yura yang membawa tas berat itu. Ia mengambil alih saat Yura berniat membawanya.

Akan tetapi, belum juga mereka sampai pintu ketika seorang pegawai berseragam kafe memanggil Robi, membuat Robi menoleh heran dan bertanya, "Aku?"

"Ya." Pegawai itu menyerahkan dua paperbag besar seperti yang tadi diberikan Lana ke arahnya. "Ini."

Robi mendelik. "Apalagi ini?"

"Untuk Abang."

"Aku kagak ada pesen apa-apa!" Robi mulai kesal.

"Oiya, itu dari Bos."

"Bos?" Furi dan Robi bertanya berbarengan. Lalu, Furi menoleh ke arah Robi dengan tatapan tanya.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang