8. Malam Pengantin

761 73 11
                                    

Sudah menjelang tengah malam, tetapi Robi belum juga muncul di kamar. Yura sudah masuk ke dalam kamar lebih dulu karena lelah setelah seharian menghadapi begitu banyak tamu yang datang. Jadi, sekitar pukul sembilan malam tadi,  mertuanya langsung memaksanya untuk masuk kamar dan istirahat lebih dulu. Lagipula, kian malam tamu yang datang kebanyakan teman-teman Robi yang laki-laki saja.

Yura gelisah menanti. Apa yang harus ia lakukan nanti bersama Robi. Ohh, malam pertama tak akan berlaku untuknya. Ia bukan perawan dan sedang hamil besar. Yah, mungkin saja mereka bisa ngobrol, tapi harus mengobrolkan soal apa?

Sepertinya tidur dan istirahat adalah pilihan terbaik. Robi pun pasti lelah. Hmm, tapi Robi harus tidur di mana?

Yura mengamati dipan Robi yang sempit. Lebarnya kurang lebih satu meter saja dengan satu bantal yang juga sudah kempis. Itu tak akan cukup untuk mereka berdua kecuali mereka tidur saling berimpitan atau mereka tidur berpelukan. Ia pun membayangkan Robi tidur sembari memeluknya dari belakang.

"Ahh, apa yang ada di pikiranku!" Ia langsung memukul kepalanya sendiri untuk mengusir bayangan tak senonoh yang muncul.

Yura mendengar suara logam dipukul dua belas kali di kejauhan. Itu artinya sudah pukul dua belas malam. Ia masih tetap di posisinya semula, duduk di lantai dengan punggung bersandar di tempat tidur. Meski lelah, tetapi ia dan Robi belum membicarakan soal pengaturan tempat tidur mereka. Ia merasa tak enak hati bila harus mendahului berbaring di dipan.

Matanya sudah sangat mengantuk. Jadi, memutuskan untuk menyandarkan kepalanya ke bantal sembari menunggu Robi, tetapi karena begitu lelah ia pun terlelap hingga tak menyadari Robi yang masuk kamar beberapa menit setelahnya.

"Yaelah, malah tiduran di lantai." Robi menggelengkan kepala beberapa kali. Lalu, ia pun membungkuk untuk memindahkan Yura ke atas tempat tidur.  Senyumnya terkembang melihat waja polos Yura yang pulas. Ahh, istriku memang cantik.

Ia teringat banyaknya sanjungan dan pujian yang ia terima dari teman-temannya tadi karena berhasil menggaet cewek secantik Yura. Semua orang sepakat tanpa ada debat bahwa istrinya luar biasa cantik. Bahkan, temannya ada yang bilang Yura seperti jelmaan bidadari yang turun dari syurga.

Mereka tidak melebih-lebihkan tentu saja karena ia pun menyadari aura yang terpancar dari istriku itu memang sulit ditolak. Dengan kulit se-glowing artis korea, dan wajah yang nyaris tanpa cela, ditambah senyum memikat membuat siapapun pasti akan terpana seketika dan tergoda. Hanya lelaki yang memiliki iman kuat saja yang mampu menolak daya tarik Yura. Dan sejauh ini, baru ada satu pria yang tak tertarik pada kecantikan istrinya itu. Siapa lagi kalau bukan teman terbaiknya, Furi.

Robi menyapukan ibu jarinya ke bibir Yura yang merekah. Ia menjilat bibirnya sendiri, lalu menelan ludah dengan susah payah. Kulit bibir Yura begitu lembut dan merah alami.

Usapannya bergeser ke pipi Yura yang juga mulus dan kenyal seperti bayi. Ia mencuri sebuah ciuman singkat di kedua pipi Yura. Itu miliknya, batinnya dengan rasa posesif yang menggelora.

Andrenalinnya terpacu hingga ia pun memberanikan diri untuk menyentuh membelai bagian tubuh Yura yang lain. Ia berhenti di perut Yura yang buncit, lalu mengusap-usap perut itu dengan penuh kelembutan. Tak peduli bajingan mana yang sudah melakukan perbuatan keji itu pada Yura, kelak ketika dia datang lagi untuk menemui si anak, ia bersumpah tak akan pernah mengizinkan.

Kepalanya menunduk untuk mengecup perut Yura dan terus bergerak turun. Aroma Yura, kelembutan Yura, memenuhi setiap desah napasnya. Ia mendambakan gadis itu sudah sejak lama. Yura istrinya sekarang. Jadi, ia berhak atas semua yang ada pada Yura dengan cara baik-baik atau tidak.

"Bi?"

Yura terbangun.

"Tidur aja lagi. Kamu keliatan capek banget." Robi terkejut karena Yura tiba-tiba sudah bangun.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang