Yura mengecek kembali catatannya resep masakan yang ia buat supaya tidak ada yang terlewat. Hari itu ia dimintai tolong oleh Furi untuk menemani Lana. Jadi, sambil menemani sahabatnya itu, ia meminjam ponsel Lana untuk melihat beberapa resep masakan dan cara membuatnya. Ia ingin belajar memasak supaya bisa menjadi istri yang lebih baik untuk Robi.
"Sayang, kalau kamu mau, aku bisa minta Furi buat print resep-resep yang kamu mau." Lana menawarkan dengan murah hati, tetapi Yura menolak.
"Aku belajar yang mudah-mudah aja dulu. Ini aja belum tentu berhasil." Yura tersenyum kecut. "Kamu tau sendiri, aku kacau soal urusan rumah tangga begitu."
"Nah, menurutmu aku lebih baik?" Lana mendengus. "Semua urusan di rumah ini aja, mulai dari nyuci baju, bersih-bersih, masak, bahkan mandiin aku aja Furi."
"Yah, kita berdua sama-sama kacau kalau begitu." Yura mengembalikan ponsel Lana ke pangkuan sahabatnya itu. "Tapi aku mau belajar. Kasihan Robi. Aku nggak bisa bayangin jadi dia."
Lana mengusap bahu Yura, ikut prihatin dengan keadaan Robi yang terikat kerja dengan seorang bos di pasar. Robi diperlakukan tidak manusiawi. Pekerjaan yang harus dia lakukan setiap harinya cukup banyak, tetapi tidak akan pernah mendapat gaji karena gajinya sudah diambil di muka semua. Suaminya sudah mencoba membujuk Robi untuk membatalkan kontrak itu dengan membayar semua utang beserta kompensasi pembatalan kontrak, tetapi Robi menolak.
"Mungkin kamu bisa membujuk Robi supaya mau terima pinjaman dari Furi buat batalin kontrak laknat itu, Beb."
Yura menggeleng. "Robi cukup teguh pendirian untuk urusan kepercayaan semacam itu. Meski dia harus berdarah-darah, pantang baginya melanggar kesepakatan. Jadi, aku cuma bisa terus mendukung dan menemani dia apa pun kondisinya."
Lana tersenyum. "Kamu sudah banyak berubah, Beb."
"Berubah jadi Spiderman?" Yura menanggapi pujian Lana dengan gurauan.
"Serius." Lana menatap Yura dengan raut bangga. "Terakhir aku dengar para tetangga di sini merasa sangat terbantu olehmu. Pembukuan dan catatan inventaris kampung jadi rapi dan terperinci. Memang, mereka semua bisa mengerjakan itu dengan baik, tapi setelah kamu memberi contoh dan mengajarkan bagaimana caranya."
Yura tersenyum tipis. "Yah, gimana pun juga aku sudah jadi bagian dari kampung ini, Beb. Rasanya apa yang aku lakuin belum ada apa-apanya."
"Aku malah belum bisa berbuat apa-apa." Lana merenung sedih.
"Hanya sementara ini. Perkembangannya cukup bagus kata Kak Furi. Dan aku tidak sabar menunggu sampai kamu beneran jadi dokter."
"Dan aku tidak sabar melihatmu pandai memasak." Lana balas menyemangati Yura.
"Entahlah." Yura meringis sendiri. "Aku ragu mau mencoba resep-resep tadi."
"Kenapa?"
"Yah, aku tak bisa membuang-buang makanan kalau sampai itu gagal. Aku kan masih harus banyak belajar dan berlatih.
Lana menatap Yura berismpati. "Ahh, kenapa tidak belajar masaknya di sini aja? Jadi, kamu nggak perlu merasa sungkan sama Mak Nur atau Robi."
"Nggak, ahh. Malah ngerepotin kamu sama Kak Furi nanti." Yura menggeleng meski dalam hatinya berharap ia bisa menerima tawaran itu.
"Ya ampun, kayak sama sapa aja, sih, Beb." Lana mendesak Yura agar mau menerima tawarannya. "Furi nggak bakal keberatan. Malah seneng kalau ada yang nemenin aku di rumah sini."
"Tapi nanti kalau dapurmu jadi berantakan malah Kak Furi juga yang repot bersihin."
"Gampanglah itu, aku bisa telpon Bik Lastri. Lagian, di kulkas seringnya banyak bahan makanan kiriman Mama yang nggak sempet diolah. Kadang jadi kering, kadang busuk. Kadang sama Furi juga dah dikasih ke tetangga juga, tapi mereka jarang suka sama sayuran yang ada itu katanya nggak bisa masaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomansaHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...