64. Adaptasi

502 75 9
                                    

Robi baru saja menyandarkan kepala di samping kepala istrinya yang berbaring di atas ranjang ketika perawat masuk sambil mendorong kotak kaca.

"Bapak, ini adiknya, ya."

"Ohh," Robi yang terkejut dengan itu hanya bisa mengangguk bego, "ya."

Sepeninggal perawat itu, Robi menunduk di atas makhluk mungil yang dibungkus dengan kain dari kepala hingga kaki. Rasa haru menyeruak dalam dada, setengah tak percaya itu adalah bayinya, anaknya, darah dagingnya.

Bayi itu berkulit sangat putih sama seperti ibunya dan yang pasti wajahnya juga harus mengikuti ibunya karena ia tak membawa gen baik sama sekali, pikirnya.

"Aku mau lihat, Bi." Yura bangkit duduk. Robi pun mendorong bayinya mendekati istrinya.

"Mungil sekali." Itu komentar pertama Yura saat melihat bayinya. "Tapi ketika besar aku berharap dia bisa gagah sepertimu."

"Jangan!" Robi tidak setuju.

"Kenapa?" Yura mengerutkan dahi. "Dia laki-laki, jadi harus mempunya semua sifat dan fisik yang ada di kamu."

"Soal beberapa sifatku, okelah, tapi soal fisik, dia harus mempunyai wajah seperti ibunya yang cantik. Aku—"

"Kamu tampan di mataku dan jangan mencoba berdebat soal itu!" Yura mendelik jengkel. "Aku tak akan rela putraku harus gemulai seperti cewek!"

Robi mendesah, tetapi memilih tidak menjawab istrinya. Ia tidak setuju dengan pendapat istrinya. Ia ingin putranya menjadi sosok yang rupawan dan tentu saja cerdas agar tidak selalu dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Namun, ia hanya mengutarakan itu dalam doa di hati saja.

Seolah menyadari suasana tegang dan tak nyaman yang ada di ruangan itu, sang bayi pun tiba-tiba menjerit dengan suara melengking dengan napas pendek-pendek, membuat Robi langsung panik.

"Beb, dia kenapa?"

"Gendong sini, aku bisa menimangnya." Yura menatap bayinya yang menangis dengan keras itu dengan sorot penuh kasih.

"Gendong gimana?" Robi menatap ke dalam box baca itu dengan ekspresi ngeri. "Kagak bisa, Beb."

"Terus?" Yura bertanya gusar. "Apa aku yang harus melompat turun ke situ dan menggendongnya?"

"Jangan!" Robi langsung melarang. "Dokter bilang mau tak boleh banyak bergerak dulu setelah tadi. Jahitanmu ...."

"Makanya, bawa sini bayiku, Bi!"

Robi memegang kepala dengan kedua telapak tangannya yang besar, frustrasi. Bayinya terlihat begitu rapuh dan lembut. Ia tak tahu bagaimana cara memperlakukan makhluk serapuh dan selembut itu tanpa menghancurkannya.

Akan tetapi, jeritan bayinya pun seakan mengoyak dadanya. Suaranya begitu memelas.

"Ohh, tidak." Robi bingung.

"Bawa sini cepat, Bi!" Yura mulai tak sabar.

"Gimana caranya, Beb?"

"Angkat dia, bawa sini!"

"Sialan!" Robi tak bisa menahan diri. "Aku takut meremukkan dia! Kepalanya bahkan tidak lebih besar dari telapak tanganku, Beb."

Yura mengulum senyum mendengar alasan suaminya. "Lalu, kamu akan membiarkan dia terus menangis sampai dia kehabisan napas, lalu—"

"Tidak!" Robi menatap istrinya dengan mata sedikit juling. "Sialan kau, Beb!"

Kemudian, sambil menahan napas—seolah napasnya yang terlalu keras bisa menghancurkan bayinya—Robi menyusupkan telapak tangannya ke bawah tubuh bayinya dan dengan gerakan sangat pelan dan berhati-hati ia mengangkat bayinya.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang