Robi sedang berada di pos ronda kampung, membahas Karang Taruna di kampungnya, ketika sebuah mobil berwarna abu tua memasuki gerbang kampung. Meski tidak terlalu hafal merk dan jenis-jenis mobil, Robi cukup tau bahwa itu adalah mobil mewah. Ia, kan, kerja di bengkel mobil.
"Siapa tuh?" Baron bertanya heran. "Papanya Lana? Ngapa kagak langsung masuk ke dalam aja? Dah bikin jalan segitu lebar biar mobilnya bisa masuk, pan?"
"Kayaknya bukan," sahut Didot. "Kalau keluarga Lana pasti dah langsung masuk."
"Biarkan saja." Robi menjawab kalem. "Jangan dipantengin terus. Kagak sopan, woi!" Ia mengeplak kepala dua kawannya yang terus menatap penasaran mobil itu.
"Penasaran aja, Bor." Didot mengusap kepalanya yang kena gampar Robi. "Sadis amat lu."
"Nah, nanti kelen data siapa-siapa saja pemuda dan pemudi di kampung sini yang masih pengangguran dan belum bisa baca tulis." Robi melanjutkan rapat kecil mereka. Sebagai ketua RW yang baru, ia bertekad untuk menaikkan taraf hidup masyarakat di kampungnya. Setidaknya mereka bisa meningkatkan kualitas diri dan bisa mencari pekerjaan lebih layak.
"Ini sapa? Didot?" Baron bertanya pura-pura tidak paham.
"Kaulah!" Robi mendelik ke arah kawannya yang ia tunjuk sebagai ketua Karang Taruna itu. "Didot belum lancar baca tulis. Kau dikit-dikit masih bisa."
Mereka melanjutkan rapat tanpa menoleh lagi ke arah mobil mewah itu hingga tidak menyadari bahwa sang pengemudi mobil sudah turun dan menghampiri mereka di pos.
"Permisi." Pemuda itu menyapa datar.
"Ya?" Baron yang kebetulan duduk tepat menghadap pemuda itu langsung mendongak. Selama sedetik ia terpaku di tempat, terkejut melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Dia sangat bersih dan tampan. Bajunya hanya berupa kemeja polos abu tua dan celana hitam. Lengan kemejanya ditekuk asal-asalan, tetapi entah mengapa Baron merasa bahwa setelan itu terlihat begitu keren. Lalu, rambutnya yang berantakan seperti orang belum bersisir itu pun terlihat begitu memesona, jelas sekali berbeda dengan dirinya. Kalau ia yang belum bersisir, pasti semua orang yang berpapasan dengannya mengira bahwa ia adalah orang gila. Dan yang membuatnya kian merasa tak berdaya adalah bau yang menguar dari tubuh pemuda itu. Semerbak dan gagah. Alamak! Apakah sekarang ia mulai tertarik dengan sesama jenis?
Tidak!!!
(Perpaduan antara Aleron dan Shera, nih. Masih ingat, kan, visual mereka? 🤭)
"Saya mau menanyakan alamat ini." Pemuda itu menunjukkan secarik kertas pada Baron, sementara Robi terus menulis di buku besar mengenai rencana yang akan ia jalankan untuk Karang Taruna di kampungnya. Ia tak bisa membuang waktu untuk kepo pada urusan orang lain. Tiap detik waktunya sangat berharga karena banyak yang harus ia urus.
"Waduh, langsung tanya aja mau cari rumahnya siapa?" Didot yang lebih dekat menerima kertas itu, lalu menyahut setengah kesal. Ia belum pandai membaca karena saat kecil ia sekolah hanya sampai lulus TK.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...