Pagi itu, wajah Robi terlihat lebih ceria dibanding biasanya. Hal itu karena ia sudah menyelesaikan banyak pekerjaan di rumah sebelum istrinya dan Biyu bangun. Ia sudah mencuci, membersihkan kamar mandi, menyetrika, dan memasak untuk Yura. Setidaknya, seharian nanti ia bisa bekerja dengan tenang karena istrinya tidak perlu melakukan apa-apa lagi kecuali menjaga dan mengurus si kecil.
Seperti kebiasaan setiap harinya, Biyu selalu bangun jam 4 pagi. Ketika Biyu bangun, istrinya masih lelap. Jadi, tanpa membangunkan istrinya, ia membawa Biyu ke kamar mandi dan memandikannya. Memang masih terlalu pagi, tetapi ia yakin Biyu akan baik-baik saja. Toh, mandinya air hangat. Ia hanya tidak mau istrinya yang sedang hamil muda itu harus bekerja berat nantinya. Apalagi Biyu mulai aktif dan banyak tingkah ketika dimandikan.
Setelah memandikan dan mengganti pakaian Biyu, Robi mengajak putranya itu bermain. Biyu memiliki banyak sekali buku bantal dan aneka mainan lain yang berbahan bantal karena Karen dan Aris selalu membawakan mainan untuk Biyu ketika datang. Namun, mainan favorit Biyu adalah playmate yang dibekukan Lana. Itu karena setiap disentuh atau ditekan pada bagian tertentu, playmate itu akan mengeluarkan aneka bunyi.
Seperti saat Biyu menyentuh pada bagian yang bergambar harimau, makan akan mengeluarkan suara mirip harimau, juga saya Biyu menekan bagian yang bergambar kucing, makan akan keluar suara seperti kucing, dan lain sebagainya.
Biyu begitu asyik memukul-mukul playmate itu hingga kamar dipenuhi dengan suara berbagai macam hewan hingga membuat Yura terbangun.
"Biyu!" Yura hampir menjerit ketika meraba tempat tidur di sampingnya dan tidak merasakan tubuh bayinya.
"Di sini, Beb." Robi menjawab setengah geli.
"Uhh, dia dah bangun?" Yura menggeliat untuk melemaskan seluruh tubuhnya yang terasa kaku. "Nggak bangunin aku, Bi?"
"Tidur aja lagi. Masih gelap juga." Robi tersenyum melihat penampilan istrinya yang awut-awutan. Daster dengan kancing depan terbuka seluruhnya, sebagian bra-nya mencuat keluar, dan rambutnya yang mengembang seperti rambut singa. "Kamu cantik banget kalau bangun tidur gitu."
"Huh, gombal!" Yura memaksa tubuhnya bangun, lalu pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil, berkumur, cuci muka, dan merapikan diri. Setelahnya ia bergabung bersama suami dan bayinya.
"Ehh, sudah mandi?" Yura mengernyit melihat putranya sudah berganti baju dan harum. "Jam segini?"
Robi terkekeh. "Nggak papa. Air hangat juga. Mandi pagi tu sehat, Beb."
Yura duduk di samping sang suami. Matanya mengamati ruangan yang sudah rapi dan samar tercium aroma pinus dari cairan pembersih lantai favoritnya. Cucian piring di wastafel bekas makan malam sudah tidak ada. Dapurnya pun sudah kinclong. Dan, ketika ia menatap ke arah teras, jemuran pun sudah penuh dengan cucian. "Bi," panggilnya lirih.
"Hmm?" Robi menjawab tanpa menoleh karena Biyu sedang memegangi Biyu yang ingin menggapai rak mainannya.
"Kamu bangun jam berapa tadi?"
"Nggak liat jam. Napa?"
"Kenapa kamu kerjain semua itu? Aku bisa, kok." Yura menatap suaminya prihatin bercampur rasa bersalah.
"Dah, kau cukup urus Biyu aja. Itu pun masih bikin aku nggak tenang."
Yura tahu maksud suaminya ada tentang kehamilannya. Mereka sudah ke dokter untuk memastikan itu dan ia pun sudah berkonsultasi soal ASI Biyu. Menurut dokter, ia bisa tetap menyusui selama memerhatikan beberapa hal penting seperti asupan makanan, kelola stres, dan pastinya menjaga fisik agar tidak sampai kelelahan. Ia yakin bisa mengatur semua itu dengan baik agar tidak sampai merepotkan suaminya yang sudah memiliki begitu banyak beban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...