7. Hari Bersejarah

523 57 2
                                    

Dadanya dipenuhi oleh rasa yang tak bisa dijelaskan oleh kata tatkala Robi mengucap janji suci pernikahan dalam satu tarikan napas dengan suara lantang dan mantab. Ia merasakan tubuhnya bergetar begitu menyadari bahwa detik itu juga statusnya telah berubah. Ia bukan lagi perempuan single, tetapi sudah sah menjadi istri dari lelaki bernama Robi.

"Saya terima nikah dan kawinnya Yura Melania Ahmad binti Effendi Prasetya Ahmad dengan mas kawin cincin emas seberat satu setengah gram dibayar tunai."

Tangannya menyentuh cincin yang melingkar di jari tengahnya. Itu cincin pemberian ibunda Robi sekaligus mahar yang telah mereka sepakati bersama. Karena dengan segala keterbatasan yang ada dan waktu untuk mempersiapkan pernikahan yang cukup terbatas, hanya itu yang bisa Robi berikan. Namun, bagi Yura itu sudah lebih dari cukup. Bahkan, dalam hatinya berniat untuk mengembalikan cincin itu kepada Robi ketika nanti pernikahan mereka berakhir.

Apakah harus berakhir?

Yah, Robi hanya menawarkan bantuan sementara untuknya. Jadi, cepat atau lambat ketika kondisi sudah memungkinkan, ia harus tahu diri dengan membebaskan lelaki itu dari tanggung jawab dan kewajiban yang tidak perlu.

Ia menoleh, menatap lelaki yang saat itu sudah sah menjadi suaminya.

"Hai, istriku." Robi menoleh ke arahnya dengan senyum lebar yang tergambar di wajahnya. Orang yang tidak tahu pasti mengira dia memang bahagia dengan pernikahan itu. Ahh, andai saja mereka tahu.

"Jadi, sekarang aku istrimu?" Yura tersenyum canggung. Apalagi saat tatapan Robi terlihat sedikit berbeda dibanding biasanya. Lebih intens dan dalam, membuat hatinya berdebar.

"Masih tanya. Hahahaha." Lelaki itu langsung menariknya ke dalam pelukan. "Para saksi masih di sini, kalau ragu kamu bisa tanyakan ke mereka."

"Tidak. Aku cuma mau minta maaf karena—"

"Sstt." Robi memeluknya lebih erat. "Jangan rusak hari ini dengan ucapan-ucapan semacam itu. Nikmati saja semua kebahagiaan yang ada."

"Oke." Yura mengangguk, lalu ikut melingkarkan lengan ke sekeliling pinggang Robi.

Mereka berpelukan entah untuk berapa lama, yang pasti sejak di ruangan itu masih banyak orang hingga saat ini hanya tinggal mereka berdua. Rupanya, baik penghulu dan semua saksi sepakat untuk memberikan privasi. Ia tak keberatan karena berada dalam dekapan Robi rasanya begitu nyaman dan menenangkan. Segala beban di hatinya seolah menguap begitu saja. Apalagi saat mencium aroma Robi, merasakan betapa kokoh dan kuat dada lelaki itu mampu memberikan rasa aman padanya.

"Yaelah, mau sampai kapan kalian begitu?" Karen datang menganggu mereka. "Nanti puas-puasin. Semua sudah menunggu. Mau pulang apa nginap sini aja?"

"Sorry, Beb." Yura menggeliat, berupaya membebaskan diri dari pelukan Robi, tetapi lelaki itu menahannya.

"Bentar lagi," ujarnya sambil terbahak.

"Satu menit!" Karen berkata kethus.

"Lima," tawar Robi.

"Satu setengah menit atau aku tinggalin kalian di sini," tegas Karen sembari menghentakkan kaki meninggalkan ruangan.

"Robi, lepas. Karen marah tuh." Yura membujuk Robi yang masih bandel tak mau melepaskan pelukannya. "Nanti kalau ditinggal beneran gimana?"

"Huh!" Akhirnya Robi mengendurkan pelukannya. "Kenapa sih orang-orang itu pada nggak ngerti, namanya juga pengantin baru."

Lalu, sembari menggandeng tangan Yura, Robi membimbing istrinya itu keluar ke tempat Karen menunggu.

"Yang lain?"

"Aku suruh duluan!" Karen bersedekap sambil mendelik. "Aku tau, ya, kalian pengantin baru, tapi please jaga sikap saat di mobil nanti atau aku nggak akan konsen mengemudi."

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang