"Syukurlah." Yura mengusap dada, lega mengetahui suaminya sudah tiba di rumah.
Robi terlambat dan tidak memberi kabar, membuat Yura gelisah, khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap suaminya.
"Bi." Ia menyambut di depan pintu. Wajah was-wasnya meneliti sang suami dari ujung kepala hingga ujung kaki, memastikan bahwa suaminya baik-baik saja. Ribuan pertanyaan yang berkecamuk di kepala ia tahan. Nanti ada waktunya bertanya, pikirnya.
Robi meletakkan kotak kaca seukuran kardus mie instan di meja ruang tamu, lalu duduk untuk melepas sepatu. Yura dengan sigap langsung mengambil alih melepas sepatunya.
"Sop ayamnya sudah dingin. Aku bisa panasi lagi kalau kamu mau."
"Ya, Beb. Aku lapar." Robi menjawab sembari menarik kepala sang istri yang Beru selesai melepas sepatunya dan menatapnya penuh kasih. Ia mencium puncak kepala Yura. "Tapi, ku mandi dulu, ya."
"Mau aku rebusin air?"
"Kagak, Beb." Robi tersenyum cerah akan sikap pelayanan Yura yang terkadang memang terlalu memanjakan. "Gerah bener. Mandi air dingin aja."
"Oke." Yura mengangguk.
Sementara Robi mandi, Yura menyiapkan makan malam untuk suaminya. Ini sudah hampir pukul sepuluh. Biasanya Robi tak pernah sampai semalam itu. Memang sebagai kepala cabang ia harus memastikan kondisi di bengkel aman sebelum pulang, tetapi biasanya paling malam jam sembilan sudah di rumah. Apalagi jarak rumahnya dan bengkel tidak terlalu jauh.
Semangkuk Sup Ayam, sepiring nasi putih, dan segelas coklat hangat sudah siap ketika Robi selesai mandi. Tanpa banyak kata, Robi langsung menyantap hidangan yang disediakan istrinya itu dengan lahap. Sesekali ia menoleh dan tersenyum ke arah Yura yang duduk diam menemani. Ia tahu istrinya itu harus berjuang sekuat tenaga menahan diri agar tidak memberondongnya dengan berbagai pertanyaan, mengapa ia pulang larut. Itulah Yura. Dia akan melayani semua kebutuhannya terlebih dahulu, sebelum menuntut penjelasan. Ahh, Bebi, batinnya.
Akan tetapi, Robi tak perlu menunggu ditanya. Setelah meletakkan gelas minuman coklat hangat yang sudah kosong. Ia langsung memuaskan rasa penasaran istrinya.
"Ini tadi, aku dicegat Heri di pos depan."
"Heri?"
"Yup. Anak kampung sebelah. Dulu, nongkrongnya di Jurang Akhir juga.
"Aku pernah ketemu?" Yura memiringkan kepala, menatap sang suami dengan dahi berkerut.
"Kayaknya pernah, tapi sekilas aja. Dia tau kau pastinya. Cuma kaunya yang nggak kenal dia."
"Ohh, oke."
"Dia lagi kesusahan. Butuh duit, tapi kagak mau minjem. Dia cuma nawarin akuariumnya."
"Akuarium?"
"Yang tadi di meja depan." Robi bersendawa sebentar, sebelum melanjutkan. "Kupikir tak apalah, toh murah juga. Nanti kita isi ikan biar Biyu seneng juga. Kau keberatan?"
Yura tersenyum, lalu menggeleng. "Kenapa harus keberatan?"
"Jadi, nggak papa pelihara ikan?"
"Emang mau pelihara ikan apa?"
"Kagak tua juga. Minggu besok kita ajak Biyu ke pasar ikan. Biar dia pilih sendiri. Gimana?"
"Boleh." Yura mengangguk setuju.
Itu adalah awal mula Robi memelihara ikan. Awalnya, cuma beberapa ekor ikan kecil untuk hiburan Biyu. Namun, sekarang ini rumah sudah seperti pasar ikan karena setelah itu, Robi jadi seperti orang kecanduan. Dia membeli beberapa akuarium lagi dengan ukuran lebih besar diisi berbagai jenis ikan yang menurut Yura tidak ada lucu-lucunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomansaHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...