"Mau apa?" Robi bertanya, tetapi Yuranya tidak menjawab. Istrinya itu hanya diam sambil terus menunduk menatap lantai. Andai ia tidak membimbingnya berjalan, mungkin saja dia sudah menabrak apa saja.
Karena tak ada jawaban, Robi memutuskan untuk langsung memesankan segelas Es Dawet untuk istrinya itu, sementara ia sendiri tidak memesan.
"Ini." Robi menyodorkan sendok berisi kuah Es Dawet ke mulut Yura. "Kau marah karena aku melarang adikmu dan Karen untuk menemui mu lagi?"
Yura langsung mendongak. Sorot matanya begitu sedih, tetapi bibirnya tetap memaksakan senyum untuk Robi. Ia pun membuka mulut, menerima suapan es itu. "Sama sekali tidak."
"Jadi, napa murung?"
"Hanya menyesalkan tindakan Karen." Kedua bahu Yura terkulai. "Kupikir dia sahabatku, kupikir dia menginginkan aku bahagia, ternyata ...."
Robi kembali menguapkan beberapa sendok es agar perasaan istrinya menjadi lebih baik. "Dia memang sahabatmu dan ingin yang terbaik buatmu."
"Kamu belain dia? Padahal pandangan dia ke kamu masih tetap seperti dulu, merendahkan."
Robi terkekeh pelan. "Bukan merendahkan. Yang dia omongin semua fakta, kan. Aku miskin, jelek, dan nasibnya nggak jelas. Nah, karena dia sahabatmu, dia menentang aku. Dia berharap kamu bisa dapetin yang lebih baik dari aku."
Yura berdecak kesal. "Kamu udah yang terbaik buat aku. Paket lengkap."
"Hadeeeh! Mulai, deh." Robi selalu salah tingkah setiap Yura memujinya setinggi langit. Karena ia tahu, dirinya sama sekali tak begitu. "Tapi, Beb, kau nggak nyesel, kan, kalau misal nggak ketemu mereka lagi? Karen dan adikmu?"
"Ehm, sebelum aku jawab, boleh aku tahu alasanmu? Kenapa tiba-tiba saja kamu memutuskan mempertahankan aku?"
Robi merapikan rambut Yura yang tertiup angin. "Aku cuma nggak mau mereka nyakitin kau. Liat akibatnya, kau jadi murung kayak gini lagi."
"Makasih, ya." Yura tersenyum tulus. "Cuma kamu satu-satunya orang yang bisa mengerti aku sampai sedalam itu."
"Apa, sih? Biasa aja." Robi mengalihkan tatapan, berpura-pura menatap selokan yang mengalirkan air jernih di sampingnya. "Ehm, habis ini kita ke Swalayan bentar, ya?"
Yura mengulum senyum. "Boleh. Mau beli apa emang?"
"Belanja buat kebutuhan di pos. Sama belilah pembalut buatmu. Aku liat tinggal dikit."
"Belum butuh." Yura menjawab santai sambil menyeruput sendiri esnya sekarang.
"Ya, mumpung ke sana. Daripada habis tiba-tiba malah repot."
"Enggaklah." Yura merasa aneh karena membahas masalah itu dengan Robi ternyata tidak membuatnya malu atau canggung. Karena Robi pun tidak menunjukkan gestur meledek atau menganggap itu hal yang tabu. Mungkin karena semua adiknya perempuan, jadi ia sudah terbiasa. "Nifasku sudah selesai. Nggak tau juga kalan mulai haid lagi setelah itu."
Robi langsung menggebrak meja dengan keras. "Kapan?"
"Sudah dari kemarin." Yura berkedip bingung. "Ada masalah?"
"Ngapa kagak ngomong?" Robi bertanya tak sabar. Seluruh tubuhnya terasa begitu tegang.
Yura berhenti meminum esnya. Sambil berkedip beberapa kali, ia bertanya, "Apa memang harusnya bilang ke kamu? Aku nggak tau ada kewajiban semacam itu."
Robi menangkup wajah Yura dengan kedua telapak tangannya yang besar dan kasar. "Kalau aku orang lain, kau tak perlu laporan, tapi aku suamimu yang wajib tahu semua hal tentangmu. Sekecil apa pun itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...