"Baju gantinya yang mana, Abang?"
Robi memejamkan mata, memohon kesabaran. "Di lemari situ, kan, banyak. Kau pilihlah satu."
"Huuu, Abang. Biasanya Kak Yura yang ambilin." Salwa menggerutu sendiri di kamar karena sejak menjemputnya dari sekolah, abangnya itu terus meminta cepat dan buru-buru. "Ahhh! Abang bajunya jatuh semua. Tolongin!"
"Yaelah, apaan lagi, sih?" Robi berderap tak sabar ke kamar adiknya. Matanya membelalak melihat pakaian berserakan di lantai, sementara Salwa berdiri kaku di depan lemari sambil memegang sebuah kaus. "Kenapa pula ini?"
"Nggak tau." Salwa menggeleng polos. "Salwa cuma ambil satu, tapi semuanya ikutan jatuh."
Robi mengepalkan kedua tangan di samping tubuh. Emosi yang terus berusaha ia redam kembali tersulut. " Kau, tuh, ya—"
"Kan tadi Salwa dah minta tolong Abang. Biasanya Kak Yura yang ambilin." Ia berbicara sambil menatap abangnya heran campur bingung. "Emang Kak Yura ke mana, sih?"
"Gosah banyak nanya. Buruan pake bajunya trus ikut Abang."
"Makan dululah, Bang. Salwa laper." Salwa menatap abangnya dengan wajah memelas. "Salwa ganti baju, Abang ambilin makannya, ya?"
Robi menarik napas panjang, lalu membuangnya dengan keras. "Yodah, cepetan!"
Ia meninggalkan kamar adiknya tak sabar menuju dapur. Darah di sekujur tubuhnya seakan mendidih. Banyak hal yang membuatnya marah, tapi ia tak tahu apa itu. Mungkin karena Salwa membuat pencariannya terhadap Yura terhambat atau karena belum juga ada kabar dari Furi dan juga Aris, ia tak tahu.
Di dapur, Robi berdiri mematung depan kompor yang berdampingan dengan wastafel cuci piring. Wajan bekas ayam kecap pagi tadi kosong dan masih belum dicuci. Sayur sup di panci juga hanya tersisa kuahnya saja.
Ia terhenyak. Inilah yang Yura lakukan untuknya setiap hari. Setiap pagi menyiapkan sarapan dan bekal untuk semua, lalu kembali disibukkan dengan Biyu dan membuat makanan untuk makan siang Salwa dan makan malam untuk semua.
Selama ini dirinya merasa bahwa ialah yang paling berjuang untuk keluarganya. Ia bekerja untuk mencukupi seluruh kebutuhan keluarga. Ia tak ingin anak, istri, dan ketiga adiknya sampai tidak makan, sekolah nunggak, atau kekurangan apa pun. Ia lupa bahwa ada sosok lain yang juga berjuang tak kalah beratnya demia keluarga ini. Dialah Yura. Lalu, apa yang sudah ia lakukan?
Ia mencari penghiburan lain, mengalihkan rasa penat dan jenuhnya dari aktifitas kerja yang begitu menuntut dengan menuruti hobi mahalnya. Egonya berkata bahwa dirinya berhak merasakan sedikit kebahagiaan setelah semua pengorbanan yang ia lakukan. Dasar bodoh! Padahal, istrinya tentu juga membutuhkan hal untuk mengalihkan dirinya dari semua tekanan dan beban tanggung jawab yang ada. Ia terdiam, merenung dan menyesal.
"Bang, mana makannya?" Salwa berdiri di pintu dapur. Dia sudah berganti pakaian dengan kaus yang sudah berlubang di bagian punda dan celana yang karetnya sudah melar hingga Salwa harus memegangi bagian perutnya supaya tidak melorot.
"Kagak ada baju lain?" Robi bertanya dengan suara parau sambil mengerjakan mata beberapa kali, menghalau air mata yang siap tumpah.
"Salwa nggak tau mau ambil yang mana," jawab gadis kecil itu lugu. "Ini kayaknya bagus."
Robi mendesah berat. Kalau untuk urusan sesederhana ini saja dia tidak bisa mengurus Salwa, mustahil ia akan bisa mengurus semuanya. Kenyataan itu kian menyiksa batinnya. Kejam sekali dirinya yang tak pernah bisa memandang pengorbanan Yura yang tak akan pernah ternilai dengan dunia.
"Bebi," desahnya lirih. Lalu, tatapannya turun pada Salwa. "Abang carikan celana, kau cari sendalmu. Nanti kita cari makan di luar aja sekalian berangkat. Kagak ada waktu, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomansaHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...