Hujan kembali turun ketika Robi menggendong Yura di punggung untuk pulang, sementara Yura yang memegang payung. Selama dalam perjalanan melintasi jalanan kampung yang sempit dan becek itu, Yura menceritakan hasil pertemuan warga di balai RW tadi.
"Aku diminta jadi ketua panitia."
"Kagak usah." Robi langsung menjawab dengan tegas. "Kau belum boleh banyak aktifitas. Kata dokter harus bisa atur makan dan istirahat."
"Ya udah." Yura memilih tidak mendebat suaminya. "Tapi nanti gimana ngomong sama Bu RW. Nggak enak jadinya."
"Aku yang ke sana nanti."
"Oke." Yura tahu Robi melakukan itu demi kebaikannya, bukan sekedar larangan tanpa alasan. Jadi, ia akan menurut saja. Lagipula, ia sudah berjanji untuk mengikuti bagaimana dunia lelaki itu bekerja. Sekedar larangan semacam ini tak akan ada artinya.
Sampai di rumah, Robi langsung mandi, sementara Yura hanya ganti baju, gosok gigi, dan cuci muka saja. Ia menunggu Robi di kamar. Kehangatan punggung Robi yang menggendongnya tadi masih bisa ia rasakan sampai detik itu. Ia pun senyum-senyum sendiri.
Robinya begitu kuat dan gagah, membuatnya selalu merasa aman dan tenang ketika bersamanya.Robi masuk kamar bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek saja. Rambutnya basah sehabis keramas. "Beb, bisa ambilin kaos."
"Bisa." Yura langsung bangkit. Sekecil apa pun hal yang Robi minta akan ia lakukan dengan hati bahagia karena Robi sudah melakukan banyak hal untuknya.
Yura menyerahkan kaos polos berwarna merah yang sudah kusam warnanya. "Bi, kamu butuh potong rambut, deh. Itu dah panjang banget."
"Gampanglah."
"Jangan gampang-gampang." Yura mengamati Robi mengenakan kaosnya dengan gerakan cepat. "Besok, ya? Sama aku."
"Besok?" Robi merasakan sedikit sentaka ketidaknyamanan saat ada yang berniat mengaturnya. Ia terbiasa memutuskan semua sendiri tanpa perlu meminta atau bergantung pada pandangan orang lain. Setiap waktu, di kepalanya sudah tersusun jadwal tentang apa-apa saja yang harus ia lakukan. "Kagak bisa, Beb. Banyak kerjaan besok."
"Emang tukang potong rambutnya jauh?" Yura memainkan rambut Robi yang menjuntai menutupi mata.
"Kagak. Di belakang balai RW sana ada."
"Dusempetin bentar aja, nggak bisa?" Yura tidak mau menyerah. "Ini beneran dah panjang banget dan nggak rapi."
"Dari dulu emang aku nggak rapi orangnya." Robi mulai kesal. Ia tak suka didesak atau dipaksa melakukan sesuatu.
"Dulu kamu belum punya istri yang ngurusin kamu. Sekarang, kan, udah punya."
Melihat dari raut kaku Robi, Yura tau lelaki itu sudah mencapai batas toleransi, tetapi ia pun tak mau menyerah begitu saja. Robi harus belajar menerima kepedulian dari orang lain, minimal dari istrinya sendiri.
"Bi, aku sayang banget sama kamu." Yura memutus jarak di antara dirinya dan Robi, lalu tanpa memeluk lelaki itu, ia menyandarkan kepalanya ke dada Robi.
"Ehm." Robi berdeham beberapa kali, lalu melingkarinya lengannya melingkupi Yura. "Aku juga," jawabnya parau.
"Kamu nggak marah, kan?" Yura bertanya sambil memainkan jari telunjuknya di dada bidang suaminya itu, membuat lingkaran-lingkaran tanpa ia sadari. "Kalau aku ngerawat kamu. Bukan nggak suka dengan kamu yang sekarang, suka banget, tapi namanya sayang pasti pingin yang terbaik buat orang yang disayang. Nggak ada salahnya, kok, ngerawat diri sendiri."
Robi memejamkan mata. Yura membuatnya gila. Selain prinsip hidupnya yang mulai banyak berubah, banyak juga hal-hal baru yang ia rasakan. Namun, yang lebih membuatnya gila adalah ia sama sekali tak berdaya menolak itu semua. Biasanya dia cukup pandai membentengi diri sendiri dan mengendalikan diri. Buktinya, meski sejak awal terpikat oleh Yura, ia cukup mampu menolak ketertarikan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)
RomanceHamil tanpa tahu siapa ayah sang janin, diusir dari rumah, dijauhi teman, dan sulit mendapat kerja karena perut yang kian besar menjadikan bunuh diri adalah satu-satunya solusi. Tidak sekali dia kali Yura mencoba mengakhiri hidup, tetapi semua beruj...