77. Obrolan Pria

391 54 4
                                    

Dia baru saja mengunci pintu rumah ketika melihat kawannya berjalan mendekat. Malam itu mereka berencana pergi ke pos ronda bersama. Meski lelah dengan rutinitas harian baik di tempat kerja ataupun mengurus keluarga, Robi tetap menyempatkan diri untuk sesekali muncul di pos ronda.

"Dah pada tidur?" Furi menyapa. Dia berhenti di depan terus, menunggu Robi mengantongi kunci rumahnya, lalu meraih kresek yang ia letakkan di atas paku samping jendela.

"Dah." Robi mendekati Furi. "Lana sama siapa?"

"Mama menginap karena Papa ada keperluan di Bali."

"Ohh." Robi mengangguk sambil melihat ke sekitar, memastikan tidak ada sesuatu yang aneh atau mencurigakan. "Ayoklah."

Mereka berdua berjalan beriringan menuju pos ronda. Saat ini, setelah jalan lebar yang dibangun orang tua Lana sudah rampung beserta gapuranya yang megah dan besar, pos ronda pun telah pindah ke salah satu kaki gapura. Pos ronda itu dibangun lebih besar di samping salah satu kaki gapura, tepatnya berada di tengah jalan baru dan jalan kampung yang lama dan telah dilengkapi dengan toilet, televisi, serta akses wifi gratis.

Selain itu, demi menjaga keamanan di kampung, dua pemuda kampung yang pengangguran juga telah dibina untuk menjadi petugas keamanan. Mereka berbagi shift jaga pagi dan malam. Tugasnya tidak banyak, hanya membuka dan menutup portal ketiga ada tamu masuk kampung tentunya setelah menanyakan keperluan tamu itu datang. Untuk gajinya, sebagian diambilkan dari kas RW dan sebagian lagi dari sumbangan Furi dan mertuanya. Itu kesepakatan bersama karena warga kampung merasa tak enak hati bila semua itu harus dibebankan kepada orang tua Lana meski mereka sebetulnya tidak keberatan.

"Fur."

"Hmm?"

"Kau paham masalah HIV, tak?"

"Paham dikit-dikit. Kenapa?"

Robi mendesah keras sambil mengusap wajahnya yang terasa begitu lelah dan kaku. "Sekarang Hawa dan Nisa sudah dapat HIV kata Bebi."

"Hah?!" Furi seketika menghentikan langkah. "Kok bisa?"

"Taulah. Kata Bebi semua cewek juga bakal begitu. Kupikir ... Aih, bingunglah aku Fur. Kupikir cuma Bebi aja yang, maksudku cewek yang dah nikah aja ... Bukanlah, cewek dan Gedhe aja yang bisa gitu."

Furi terdiam cukup lama mencoba mencermati ucapan kawannya yang membingungkan. Robi memang seperti itu. Wawasannya tentang dunia tidak terlalu luas dan kalau bicara suka belibet.

"Bentar." Furi mengangkat telapak tangan, meminta kawannya itu diam dulu. "Maksud kau, haid?"

"Yaelah, Fur, yang biasanya cewek datang bulan." Robi berbicara tak sabar. "Yang bikin cewek-cewek dah bisa hamil, tuh."

Furi mengulum senyum. "Kau bilang HIV, Boy. Kaget aku."

"Ya itulah istilahnya. Aku taunya datang bulan aja."

Mereka kembali berjalan.

"Masalahnya di mana?"

"Ya, masalah, Fur." Robi menoleh ke arah kawannya dengan raut sedikit kesal. Ia berharap reaksi Furi tidak setenang itu menerima kabar yang begitu menakutkan. "Kau pasti taulah, kalau cewek sudah begitu bisa hamil? Nah, Hawa sama Nisa nih masih anak-anak. Ya Ampun! Masih bau kencur!"

"Kagaklah, Boy. Mereka memang sudah di usia yang pantas untuk dapat haid atau datang bulan." Furi menjawab kalem.

"Sumpah, Fur! Mereka dalam bahaya kalau gitu."

"Bahaya gimana? Itu hal normal."

"Kau bisa bayangin kalau Nisa hamil?" Robi bergidik ngeri saat berbicara.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang