47. Sesal

527 84 14
                                    

Pagi itu Robi pulang dari pasar lebih cepat karena kiriman sembako dikabarkan mengalami keterlambatan dari pusat. Ia langsung mencari istrinya yang seperti biasa, pasti berada di balai RW untuk mengurusi segala kebutuhan para pekerja proyek jalan bersama beberapa warga lain. Proyek jalan di kampung itu berjalan cukup cepat dengan banyaknya pekerja yang dikerahkan.

Ia baru berdiri di pintu balai RW ketika melihat Yura bersandar di salah satu rak kaca sambil memejamkan mata. Kakinya berderap cepat melintasi ruangan. Dalam dua detik kemudian ia sudah berada di samping sang istri.

"Beb!"

Yura tampak pucat, tetapi begitu mendengar suara Robi, ia langsung membuka mata. Senyum tersungging di bibirnya. "Kamu? Kok dah pulang?"

"Kau pucat, Beb!" Robi langsung mengangkat tubuh Yura, mengabaikan pekik terkejut Yura, membawa istrinya itu ke salah satu bangku terdekat dan mendudukkannya di sana. "Kau kecapekan!"

"Enggak, kok, cuma—"

"Beb!" Robi mendelik dengan raut tegang. "Kita ke dokter sekarang!"

"Bi, jangan lebai, ahh. Aku nggak apa-apa."

"Biar dokter aja yang bicara kau beneran nggak apa-apa apa kagak!"

Yura memegang wajah Robi yang kaku. "Rileks, Bi. Aku cuma lupa minum aja. Dari tadi nggak minum sama sekali."

Robi menggeleng pelan, menolak penjelasan istrinya. Masih segar di ingatannya saat Yura hampir meregang nyawa akibat kejang beberapa waktu lalu. Ia pun masih bisa mengingat dengan jelas bahwa kemungkinan efek dari itu masih mungkin untuk kambuh setelah tiga bulan setelahnya. Dan entah apa saja yang dokter jelaskan padanya saat itu, ia hanya bisa mengingat intinya nyawa Yura terus terancam bila kondisi semacam itu tidak diwaspadai. Ia tak peduli bahwa ini sudah lebih dari tiga bulan. Bisa aja penyakit Persia itu kambuh bahkan setelah lima bulan atau setahun, bukan?

Tidak! Ia tak akan bisa rileks sebelum memastikan bahwa istrinya memang baik-baik saja meski saat kontrol terakhir sekitar dua minggu lalu, dokter mengatakan kondisi Yura cukup bagus dan stabil.

Dengan mata masih terus mengawasi Yura, ia merogoh ponsel di saku celana. Ia menelpon Furi.

"Fur, di mana?" Dahinya berkerut dalam saat berbicara dengan kawannya itu. Ia menjelaskan dengan cepat kondisi Yura pada kawannya yang pernah mengenyam pendidikan di kedokteran itu. "Di balai RW ini. Kutunggu."

"Bi, kamu telfon Kak Furi?"

"Dia mau antar Lana kuliah. Jadi, sekalian kuminta mampir sini."

"Itu beneran nggak perlu, Bi."

"Beb!" Robi tampak tersiksa. "Tolong ...  biarkan aku melakukan apa yang perlu."

Yura ingin membantah, tetapi urung melakukannya karena wajah menderita Robi seolah seluruh kebahagiaan lelaki itu telah direnggut paksa. Ia tahu Robi masih trauma ketika ia mengalami masalah serius dengan kehamilannya kemarin sampai koma selama  beberapa hari. Jadi, rasanya lebih baik ia membiarkan Robi melakukan apa saja untuk meredakan kekhawatirannya.

"Bi," panggilnya lembut.

"Ya." Robi menatap Yura dengan tatapan tidak fokus. "Mana yang sakit? Kau butuh apa?"

"Peluk." Yura mengulurkan tangannya ke depan yang langsung ditangkap oleh Robi. Suaminya itu maju dan langsung mendekapnya erat. "Rasanya jauh lebih baik setelah kamu peluk."

Tidak ada tanggapan. Selera humor Robi benar-benar hilang. Beruntung Furi segera tiba dan langsung memeriksa kondisi Yura. Ia memeriksa suhu, tekanan darah, dan kondisi fisik Yura, sementara Robi tak mau beranjak dari samping Yura.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang