75. Duka Bertubi

409 61 12
                                    

Suasana rumah penuh pelayat. Robi yang seharusnya menggantikan ayahnya sebagai tuan rumah tidak bisa menjalankan peran itu karena dia terlalu terpukul akan kepergian emaknya. Dia seperti mayat hidup. Duduk diam sambil menatap kosong ke depan. Tak ada tangis atau rintih kesedihan. Hanya diam.

Sementara itu, bapak Robi juga mengalami duka yang tak kalah pedih. Beliau tidak bisa menangis atau bicara akibat kelumpuhan pasca kecelakaan beberapa waktu lalu. Namun, dari raut wajahnya yang terluka, semua tahu betapa dalam kesedihan yang diderita akibat kepergian yang istri. Mungkin, lebih dari sekadar sedih, tetapi ada rasa bersalah karena beliau juga yang membuat istrinya menderita dan kelelahan karena mengurusnya.

Ketiga adik Robi juga hampir sama. Hanya saja Hawa dan Nisa yang lebih dewasa lebih bisa mengontrol emosi dan kesedihan hingga mereka tak sampai menangis meraung seperti yang dilakukan Salwa. Mereka seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Tak tahu harus mengadu dan bersandar pada siapa.

Dengan semua itu, Yura akhirnya yang harus tegar menghadapi para tetangga dan kerabat yang datang untuk melayat. Ia membawa Biyu dalam gendongannya dan terus bergerak untuk mengurus banyak hal yang tak mampu dilakukan baik oleh Robi, Bapak Mertua, dan ketiga adiknya. Ia mengucap syukur dalam hati karena untuk proses pemakaman dan pemulangan jenazah ibu mertuanya dibantu oleh Furi dan beberapa teman Robi lainnya.

Atasan Robi yang mendengar perihal meninggalnya ibu Robi pun langsung mengirim banyak bantuan baik berupa tenda dan kursi-kursi yang dipasang di depan rumah, berpak-pak air mineral kemasan, dan beberapa makanan untuk dihidangkan kepada para tamu.

Tamu datang silih berganti dan tak berhenti hingga malam menjelang. Bahkan, ketika malam pun para tetangga laki-laki pun tetap berada di rumahnya karena menurut Furi itu sudah menjadi kebiasaan warga kampung.

"Apa aku harus menemani mereka juga?" Yura bertanya dengan nada letih.

"Tidak perlu. Biar aku saja." Furi menjawab tenang. "Kau istirahatlah. Kalau di sini terlalu ramai, Lana di rumah sendiri."

Yura mengangguk. "Aku di sini saja," ujarnya sambil mengayun-ayun Biyu yang ada di gendongannya supaya lekas tidur."

"Salwa sudah tidur?"

"Untungnya Karen berhasil membujuk dia untuk tidur. Hawa dan Nisa juga sudah masuk kamar, tapi aku tak tahu mereka tidur atau tidak."

Furi tersenyum sambil mengangguk beberapa kali. "Bapak sudah makan dan aku minuman obat, tapi suamimu sepertinya agak susah dibujuk. Dia.bisa sakit kalau tak makan sama sekali."

Yura mendesah lelah. "Setelah Biyu tidur, aku akan membujuknya makan."

"Nah, kenapa tidak kau serahkan Biyu padaku dan kau bisa membujuk suamimu untuk makan."

Yura ragu. "Dia sudah mengantuk, rapi karena terlalu ramai dan terang jadi sudah tidur."

"Sinilah. Aku bawa ke gang samping biar cepat tidur."

"Memang Kak Furi bisa?"

"Dia cukup mengenalku. Rasanya tidak akan rewel kalau ku gendong. Biasanya juga main bareng."

"Oke. Makasih banget, ya, Kak." Yura akhirnya menyerahkan Biyu yang gelisah terus pada Furi. Lalu, ia mencari suaminya.

Robi masih ada di ruang tengah, duduk sendiri sambil menatap nanar lantai. Ia seperti berada di dunia yang jauh, tak menyadari keramaian di depan rumahnya. Bahkan, dia seolah tak menyadari kehadiran Yura yang saat ini duduk di sampingnya.

"Bi." Yura merain telapak tangan suaminya yang terkulai di pangkuan, lalu menciumnya beberapa kali. Tangan kasar itu yang selama ini menggenggamnya, menarik, dan menahannya agar tak jatuh. Namun, saat ini tangan yang biasanya kokoh itu terkulai tak berdaya.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang