Sebuah Keluarga

33 1 0
                                    

Sepertiga malam telah membuka petala langit lebih cepat dari biasanya. Guyuran air dingin yang mengusap pori-pori kulit, seakan menghidupkan kembali kalimat 'La Ilaha Illallaah' yang telah lama tertidur diantara gelapnya jiwa yang berlumur kekotoran dunia. Ada yang berdetak diantara ruas hati. Setitik kesempatan yang masih dipompa oleh birama airmata. Jantung yang berdetak, nafas yang hilir mudik masuk melalui rongga dada, dan aliran darah yang masih menyalurkan asupan-asupan kehidupan, pada sel-sel terkecil di dalam tubuh. Semua bekerja keras dan berjalan sesuai ritme yang kadang membuat kita lupa, siapa yang telah mengaturnya.   

Lalu mulut, hati dan pikiran menjadi selaksa yang bergetar dalam pancaran jiwa. Menasbihkan cahaya, pada sujud yang tak pernah berpesta pora pada riuhnya kesibukkan dunia. Mata terjaga, dikala mata-mata kasat mata terlelap dalam jelaga kenikmatannya. Tuhan membangunkan jiwa-jiwa yang tengah haus akan kasih-Nya yang putih. Menyapanya diam-diam, pada dini hari yang hening, dimana doa menjadi surat cinta paling tulus, diantara sayap-sayap yang tengah terbang mencari kekasihnya.

Ada yang berdering, suara hati yang tak seiring dengan 'cangkang' yang aku kenakan selama ini. Aku memandang bulan, menyusup dalam cahayanya dan berbaur bersama dingin yang dihantarkan oleh fajar yang masih enggan berterus terang, sebelum pijaran sang raja dunia muncul dari sarangnya.

Subuh yang hening, seperti keheningan sepucuk surat merah jambu yang enggan bertanya lebih jauh, tentang apa makna dari rindu.

Aku mengatupkan kedua bola mata, untuk menyusun secarik tulisan tangannya yang tidak bisa aku baca dengan mata terbuka. Ada yang tidak bisa terjamah, noktah lama yang berlari dalam bilur, yang tak pernah tidur dalam rasa syukur.

Aku ingin bisa memiliki senja. Menanam benih-benih sang pengeja hati, pada ranah indah yang mereka sebut, 'Ruang Penciptaan'. Aku ingin sesuatu yang bisa memancarkan semburan kehidupan, di balik ruas kakiku yang lelah berdiri dalam menopang hidup. Aku ingin menjadi kantong 'benih' dan bukan 'Wadah Penampungan' yang tidak memiliki bibit untuk menciptakan versi lain dari diriku yang mulai dimakan waktu.

Aku ingin menjadi sebatang kunci yang bisa 'memasuki' dan bukan gembok yang terbiasa 'dimasuki'. Aku ingin bisa menanam sesuatu dalam rahimnya, hingga dia bisa mengeluarkan sesuatu yang lain setelahnya. Aku ingin bisa terhubung, seperti kunci dengan gemboknya, hingga kita bisa membuka pintu dan melangkah indah dalam tarian restu.

Tuhan, aku ingin kalimat 'Kun Fayakun' hadir diantara resahnya harap yang mulai bersemayam di bawah titik nadir. Aku ingin menjadi bagian dari keajaiban yang sering Kau perlihatkan pada makhluk-makhluk yang lupa akan kuasa Tuhan. 

Kau pernah membelah lautan, dan menyelamatkan barisan pemuja-pemuja Tuhan, hingga sampai ke tujuan. Kau pernah mendinginkan api, hingga Ibrahim berdiri tanpa rasa nyeri. Kau pernah membutakan para musuh nabi, tatkala mereka berpapasan di depan mulut gua. Kau pernah membuat Maryam memiliki buah hati, tanpa adanya sperma yang membuahi. Kau pernah membuat Isa berbicara dalam ayunan, ketika ia masih disebut sebagai seorang bayi. Kau pernah menidurkan pemuda-pemuda dalam surat Al Kahfi, tanpa membiarkan mereka berakhir mati. Kau telah memindahkan kerajaan Ratu Balqis, sebelum mata berkedip, hingga Sulaiman bertakbir dalam setiap kalimat syukurnya.

Lalu, bolehkah aku menjadi bagian dari kisah 'Kun Fayakun-Mu' yang indah itu?

Menjadi makhlukmu yang lain, tanpa harus bertentangan dengan firman-firman yang telah Kau tuliskan.

Aku ingin meminangnya, tanpa harus menikam keimanan yang tengah aku perjuangkan.

Aku ingin hidup dalam satu atap, dengan buncahan-buncahan yang bisa aku lepaskan, tanpa resah yang terbiasa bermain sebagai bagian dari kesalahan.

AUCHA (Idola yang Saling Jatuh Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang