Malam larut yang menenangkan itu di hebohkan dengan satu ruangan yang penuh kebisingan. Dini hari bukannya di sambut untuk istirahat, malah menyiksa badan dan jiwa raga.
Juga pelayanan rumah sakit yang buruk, menurut Sania sangat buruk. Putranya sudah sangat kesakitan, tapi tidak ada bantuan medis yang datang, padahal tombol untuk memanggil dokter sudah Sania tekan berulang kali, Dela juga sudah beberapa kali memanggil dokter, tapi jawab mereka para dokter, di suruh menunggu, masih banyak pasien, Sania sebagai ibu tentu saja jengkel dan marah apalagi melihat putranya terus kesakitan.
Alva terus mencengkram dadanya sendiri, kadang memukul rasa sakit yang masih singgah di dalam. Merasa tidak kuat dengan itu semua.
"Sayang? Alva? Sudah nak .." Sania menghentikan tangan anak itu
Setelah memakaikan Alva masker oksigen, Sania beralih naik ke ranjang, memeluk anak itu.
"Udah nak .. Jangan di pukul terus, yang ada tambah sakit .."
Seolah tuli, Alva tak mendengarkan apa yang dikatakan bundanya, anak itu terus memukul dadanya sendiri, berharap rasa sakit di dalam sana hilang.
Anak itu terbatuk-batuk, mungkin pukulan tangannya yang terlalu keras, dan membuatnya tersedak dari dalam. "Udah .. Alva? .." Sania menggenggam tangan Alva
"Sakit bangeth .. Bundaa .. " Lirih anak itu
"Iya, bunda tau .." Ujar Sania menangis pelan, wanita itu mengusap kasar air mata yang luruh kebawah, dan menekan sekali lagi tombol di atas ranjang Alva
Sania terus menekan tombol itu, dalam tangisnya Sania berharap dokter segera datang dan menolong putranya.
Alva memukul dadanya lagi, merasa tidak tahan dengan desiran menyakitkan yang terus menghujam tubuhnya, "Bundaa sakit ... " Anak itu menangis, air matanya berhasil jatuh ke bawah
Tangan Sania mengusap dada Alva, menghalangi tangan anak itu yang berulang kali ingin menyakiti dirinya sendiri. "Del, panggilin dokter lagi, Del. Cepet!"
Dela yang berdiri mematung disana mengangguk dan berlari keluar dengan tangan mengusap matanya yang berair.
Dalam pikirannya, Sania merasa kalut, ia tidak tau harus melakukan apa untuk menghilangkan rasa sakit yang dirasakan Alva, Sania terus mengusap dada anak itu, terus menciuminya, meyakinkan anak itu kalau dia tidak sendiri.
Alva dalam pelukan Sania semakin lemas, rasa sakit itu seperti merebut kekuatannya. Kepalanya menyandar dalam dekapan sang bunda, pasrah dengan rasa sakit dalam dada.
"Alva kuat .." Ujar Sania memberi semangat
"Jangan tutup mata kamu ya? Bunda gak izinin." Ujar Sania sembari mencium kening Alva
"Bunda .. Sakit bangeth .." Rintih Alva dengan nafas yang mulai tak teratur
Air mata Sania lolos kembali, "Iya sayang, iya .. Bunda ngerti, tunggu dokternya dulu ya nak .. Setelah ini kita pindah .."
"Pulang .." Ujar Alva
Sania hanya mengangguk, menuruti apapun perkataan Alva kali ini. "Iyaa .. Setelah ini kita pulang, biar Dokter Rama yang ke rumah."
Pintu itu terbuka, akhirnya Dela datang dengan membawa dokter di sebelahnya.
Sania buru-buru turun, membiarkan dokter memeriksa Alva, tatapan matanya memerah melihat dokter cantik itu. Bisa-bisanya baru datang sekarang, apa seperti ini pelayanan rumah sakit besar dan terkenal? Dirinya juga bukan pengguna BPJS, tapi pelayanan mereka?
"Dokter kemana aja sih, Dok? Saya udah panggil berkali-kali, dari tadi! Udah di jemput juga, pelayanan macam apa ini? Tidak mementingkan pasien? Anak saya udah kesakitan dari tadi, Dok! Anak saya sampe lemes badannya, hampir sesak nafas juga, tapi tidak ada tanggapan sama sekali dari tenaga medis, apa dokter disini cuma satu? Tidak kan!" Ujar Sania menggebu-gebu dengan tangisnya melihat dokter itu sudah selesai memeriksa Alva
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrenders
Teen FictionDeskripsi? Tidak ada. Datanglah, siapa tau membuatmu betah. #sickstoryarea Jangan salah lapak, berakhir menghujat.