Sania menunda jadwal check up Alva menjadi nanti sore, merasa kasihan dengan putranya yang terlihat lebih pendiam, dan banyak termenung, jujur saja ia takut kalau putranya trauma, kalau saja hal itu terjadi, ia bersumpah tidak akan memaafkan Devan atas hal ini, membuat senyum Alva hilang dari muka bumi.
Dela sampai tidak berani mendekatinya, sekedar menanyakan sesuatu untuk membuat Alva bicara, ia tidak berani sama sekali mengganggu anak itu, Dela angkat tangan untuk kali ini kalau di suruh memancing agar Alva membuka suara.
Sania mendekati anak itu yang bersantai dengan ponsel pintar dalam genggamannya, jongkok di lantai, dan membelai rambut halus Alva. "Bunda bikin pudding cake coklat kesukaan kamu, mau bunda bawain?" Tawar Sania
Alva menggeleng. "Gak usah repot-repot, bunda .. "
"Nggak ngerepotin sama sekali sayang, bunda yang pengen. Bunda ambilin ya?" Ujar Sania memberi alasan, Alva mengangguk
Sania berdiri dan melangkah mengambil pudding cake coklat yang baru saja jadi, Sania kembali setelah membelahnya menjadi beberapa bagian.
Alva memakan pudding buatan sang bunda, menghargai atas lelah yang di tumpahkan demi dirinya.
Sania kini menjadi ragu, untuk membawa putranya check up nanti sorean, tidak ada raut senyum yang keluar dengan sendirinya hari ini, senyum itu di paksakan.
"Gimana? Enak gak?" Tanya Sania basa basi, ia tidak pernah menanyakan tentang nilai Alva untuk masakannya, ini hanya basa basi yang ia buat
Alva mengangguk, lagi-lagi dengan senyuman yang di paksakan.
Pudding itu kandas oleh Alva, Sania tersenyum kecut, sangat langka Alva menghabiskan makanannya dalam bentuk kecuali nasi, biasanya, Sania harus marah-marah dulu agar sang putra tidak menyisakan makanan.
"Bunda, aku mau ke kamar, ngantuk." Pamitnya
Sania hanya mengangguk mengiyakan, lalu membereskan piring bekas pudding yang di makan Alva.
Kalau seperti ini, ia jadi malas berangkat kerja, sekarang ini sedang di fase dimana perusahaan tempatnya bekerja dan perusahaan tempat Devan bekerja sedang bekerja sama, artinya, ia dan Devan akan lebih banyak waktu untuk bertemu, sangat malas untuk bertemu laki-laki itu jika keadaannya seperti ini sekarang.
Hingga sore hari tiba, Sania masih ragu-ragu untuk mengajak putranya pergi check up. Pagi tadi, ia sudah menghubungi Dokter Rama kalau tidak bisa datang pagi ini, ia ubah menjadi sore. Namun sekarang Sania masih ragu untuk menyuruh Alva check up, ia tidak ingin, fisiknya juga ikut lelah dengan dunia yang tidak pernah adil padanya.
"Kak? Gak jadi ke rumah sakit?" Tanya Dela
Sania menggeleng bingung. "Alva masih diem, kakak bingung, Del .. Niatnya kakak ajak sore biar pikirannya tenang dulu, tapi ini? ... "
Dela mengerti perasaan kakaknya, ia juga tidak bisa memberi saran, takut salah sasaran.
Ketengan mereka berubah panik mendengar suara rintihan Alva di atas, walaupun samar-samar. Sania berlari detik itu juga, membuka pintu kamar Alva dan menemukan anak itu meringkuk memeluk tubuhnya sendiri di lantai, Sania spontan memeluknya.
"Hey? Kenapa nak? ... " Tanya Sania lirih
Dela ikut berjongkok di depan mereka, menatap khawatir Alva yang ada di depannya.
"S-sesek .. Bundahh ... "
Sania buru-buru membaringkan tubuh Alva, ia memeluk kepala Alva, dan tangan yang menyanggah punggung Alva.
Sania meng-intonasi Alva untuk bernafas sesuai instruksinya, tarikan nafasnya berat dan agak tercekat.
Dela memberikan masker oksigen yang sudah ia atur lajuan udaranya, Alva mendongak ke atas menerima bantuan udara, tangan Sania mengelus pelan dada putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrenders
Teen FictionDeskripsi? Tidak ada. Datanglah, siapa tau membuatmu betah. #sickstoryarea Jangan salah lapak, berakhir menghujat.