25

1K 78 0
                                    

Sania dengan langkah malas memasuki gedung menjulang tinggi tempatnya bekerja, entah nanti bertemu atau tidak, tapi dari awal ia sudah sangat malas menginjakkan kaki ke tempatnya bekerja, tidak ada rasa semangat seperti biasa, lebih lagi mantan suaminya itu akan sering berkunjung ke kantornya.

Beberapa rekan yang menegurnya pun hanya ia beri senyum simpul tanpa seutas kata, biarkan saja mereka bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, karena merasa sikapnya yang tidak ramah seperti biasa.

"Ada apa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Tanya seorang teman perempuan yang menyeimbangi langkahnya

Sania tersenyum lalu menggeleng. "Ceritakan saja, San. Aku sudah menganggapmu seperti saudara, lebih dari sahabat!" Ujar wanita cantik bernama Dina merangkul bahu Sania dengan senyumnya

"Apa karna anak ganteng itu?" Tanya Dina

Sania menggeleng, bukan karena putranya, walaupun nyatanya iya.

"Ngomong-ngomong, gak pernah lihat si Alva, kemana anak itu? Kangen aku sama tingkahnya." Ujar Dina

Sania tersenyum. "Aku udah bilang loh sama kamu, adek bungsu aku tinggal sama aku sekarang, dia seumuran sama Alva. Biar ada temen itu anak, biar gak keluyuran mulu, pusing aku liatnya." Ujar Sania

"Cewe cowo? Kalo cowo harus ekstra sabar sih, gak bisa bayangin dengan kesabaran kamu yang setipis tisu di bagi dua belas di celupin ke air." Ujar Dina sembari terkekeh, Dina tentu saja mengenal dengan baik Sania, mereka sudah berteman jauh sebelum Alva lahir.

Sania hanya menatapnya. "Cewe, pendiam pula. Berbanding terbalik sama Alva. Tapi aku sabar banget loh punya anak sejenis Alva."

Dina tersenyum haru, wanita ini yang di maksud Sania untuk menggantikan perannya tapi tergantikan oleh Ayu sang mama. Dina sang perawan tua, kurang lebih umurnya hampir sama dengan Sania, wanita itu hidup sebatang kara di kota ini.

Sania masuk ke ruang kerjanya, sudah ada Devan di dalam, laki-laki itu nampak senyum tipis melihatnya. Sania acuh, dirinya masih sakit hati dengan perlakuan Devan terhadap Alva kemarin pagi.

"Aku ingin meminta persetujuan-mu .. "

"Berikan!" Ujar Sania datar memotong ucapan Devan, tangannya mengambil berkas di tangan Devan kasar, Sania teliti membaca kalimat di dalamnya

"Gak usah sok jahat, kalau sampai bosmu tahu kau bisa di pecat. Kau mengertikan bosmu sahabat karib atasanku?" Ujar Devan tersenyum miring

Sania menanda tangani kertas itu, lalu memberikannya pada Devan. "Aku peringatkan. Jangan pernah dekati putraku lagi, jangan pernah mengganggunya apalagi sampai menyakitinya seperti kemarin! Dia di gigit nyamuk saja aku tidak rela, dan kau bisa-bisanya kau mencekik putraku, kalau sampai terjadi apa-apa, kau mau bertanggung jawab hah?" Sungut Sania lantang

Devan menerima kertas itu dengan senyum miringnya, "Aku tidak peduli. Anakmu yang menghampiriku, tidak ada gunanya aku mendekati anak penyakitan itu." Ujar Devan kelewat santai dan pergi meninggalkan ruangan kerja Sania

Tangan Sania sudah mengepal di bawah, kalau saja tidak di kantor, tangannya sudah gatal ingin menonjok mulut laki-laki itu.

Sedangkan Alva di sekolah tidak seperti biasa yang ada saja tingkahnya, anak itu tidak se-ceria biasanya.

"Lo kenapa sih, Va?" Tanya Karlo

"Gue abis di cekik sama bokap gue." Ujar Alva

Mereka sedang ada di lapangan yang ada di belakang sekolah, lapangan yang sudah tidak terpakai, hanya beberapa dari siswa yang kesana.

"Really? Kok bisa Lo di cekek gitu?" Tanya Karlo

Alva mengendikkan bahunya, "Mm, Va?" Alva yang merasa terpanggil menaikkan alisnya

SurrendersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang