31

1.2K 84 1
                                    

Langit nampak gelap dengan perlahan, digantikan bulan yang tampak bersinar terang, menggantikan sinar redup sang matahari. Hawa dingin juga mulai menusuk, menyelimuti tubuh dengan semerbak dinginnya.

Di ruangan itu, Alva masih setia memejamkan mata menemani mimpi yang mungkin berakhir indah disana, mengabaikan tatapan-tatapan khawatir dan sedih yang di layangkan padanya.

Menurut Dokter Rama, sudah untung anak itu selamat, walaupun keadaannya terus menurun sepanjang hari,

"Alva? Bangun sayang .. Kenapa gak mau bangun, hm? Bunda takut nak .." Ujar Sania serak dengan lelehan air mata menatap putranya

Sepanjang hari pula Sania tidak mau bangkit dari tempatnya, ia tetap teguh pendirian menunggu sang putra membuka mata yang menjadi tatapan candunya, mata yang di wariskan oleh mantan suami, namun dengan cara menatap yang menurun darinya, Sania rindu.

Rasa lapar pun ia abaikan, bujukan Dela tidak mempan, sampai-sampai harus Dokter Rama yang harus turun tangan sendiri memerintahkan agar wanita itu mau makan, mengisi perutnya yang kosong.

Sesuai dengan perkembangan kondisi, berdasarkan hasil pemantauan 24 jam, Alva akan dimasukkan ke ICU dalam kurun waktu tertentu.

Intinya, sampai keadaannya membaik, dan semakin baik.

Keesokkannya Sania harus memaksakan diri untuk tetap bekerja, membayar biaya rumah sakit Alva juga butuh banyak uang, kalau bukan dari bekerja, dari mana lagi Sania bisa mendapatkan itu.

Tidak ada wajah cerah dan sapaan ramah wanita itu selama di kantor, Dina sang sahabat sampai bertanya-tanya tentang apa yang terjadi,

"San? .. Kamu kenapa sih? Jangan bikin aku khawatir, San .." Ujar Dina

Iris mata Sania menatapnya berkaca-kaca, air mata wanita itu malah tumpah dengan tangisnya. Dina spontan memeluknya, merasa tidak paham dan tidak tau masalah apalagi yang mendatangi Sania.

"Kamu kenapa? .. "

" .. Anakku, Din! .. " Ujar Sania serak dan lirih

"Iya, Alva kenapa?" Tanya Dina melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Sania yang jatuh ke pipinya

Sania menatap sahabatnya itu, matanya sudah menjelaskan bahwa sedang terjadi hal buruk pada putranya.

"Alva kenapa, hm? Kalian bertengkar?" Sania menggeleng, "Alva masuk ICU, Din .. " Ujar Sania menangis kembali

"Hah? Gimana ceritanya bisa masuk ICU?" Tanya Dina memeluk Sania lagi, menenangkan ibu anak satu itu

"Kamu tenang dulu, jangan nangis .. Percaya sama aku, Alva bakal gak papa, dia bakal balik normal kayak dulu lagi, percaya sama aku, Alva pasti sembuh!" Ujar Dina

Sania mengangguk pelan dalam dekapan sang sahabat, "Aku takut banget, Din .. Alva gak pernah sampai masuk ICU,"

"Yakin, dan percaya sama anakmu, San. Kalo kamu aja lemah gini, gimana Alva? Kamu harus tetap tegar, kamu harus yakin Alva akan tetap baik nantinya!" Ujar Dina

Iya, ucapan sang sahabat memang benar adanya, tapi ketakutan dan kekhawatiran itu masih tetap singgah menghinggap dalam tubuh sekaligus jiwanya.

Setelah hampir seharian bekerja di kantor, Sania pulang langsung menuju rumah sakit, dengan hati berharap putranya sudah sadar disana, Sania sungguh ingin mendengar tawa anak itu.

"Apa ada perkembangan kondisinya, Dok? Apa anak saya sudah sadar, Dok?" Tanya Sania menemui Dokter Rama di ruangannya

"Kondisinya masih sama, Bu. Tidak ada peningkatan."

SurrendersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang