27

1.1K 99 6
                                    

Alva sudah tepar setelah hampir setengah hari melakukan check up, jantungnya merambat ke jantung lemah, kelainan jantung yang di sebabkan bukan dari bawaan ataupun keturunan.

Anak itu habis lari ringan di atas treadmill, Dokter Rama yang menyuruhnya, setelah melakukan itu, Alva tiba-tiba saja mengerang kesakitan, siapa yang tidak panik, Dokter Rama juga tidak sampai memprediksi ini akan terjadi, bayangannya mungkin akan sesak nafas seperti biasa.

Jantung anak itu sudah benar-benar bermasalah kini, tidak akan mampu di ajak kerja sama dengan rutinitas kegiatan Alva yang tentu saja melelahkan.

Selain gerak yang di batasi, pikirannya pun harus bisa di kendalikan. Tidak boleh stress, sedih, apalagi sampai tertekan.

Kalau bahagia masih oke.

Alva masih dalam pejamnya tidak terganggu sama sekali dengan tangan Sania yang asik berkeliling di wajah Alva, kadang Sania menoel bahkan mencubit pelan pipi anak itu, berharap putranya sadar, Alva tidak di kasih obat tidur apalagi sampai di bius, anak itu tidak sadar dengan sendirinya.

Sania masih terus untuk mencoba mengganggu tidur lelap Alva, Sania tidak suka jika cara putranya tidur seperti ini, tidak di mulai dengan kondisinya yang baik.

Acaranya membangunkan tidur lelap Alva teralihkan kala suara ketukan pintu terdengar, Sania menoleh dan melangkah membukakan pintu, pasti bukan Dela, gadis itu main nyelonong masuk tidak perlu ketuk pintu.

Sania menatapnya datar. "Ngapain kau kesini, kurang kerjaan sekali!" Cibirnya

"Menjenguk anakku."

Sania menggeleng, tangannya mengusir laki-laki itu pergi. Devan menyeretnya keluar, menarik paksa pergelangan tangan Sania.

"Lepaskan!" Sania menarik tangannya kasar, matanya menatap laki-laki di depannya penuh amarah

"Cepat katakan apa maumu? Tidak cukup dengan apa yang kau lakukan Minggu lalu?! Aku tidak akan membiarkanmu bertemu putraku kalau tujuanmu hanya akan melukainya, pergilah yang jauh, jangan pernah menganggu kami lagi!" Ujar Sania

"Niatku kemari hanya menjenguk."

"Tidak perlu. Putraku tidak butuh di jenguk oleh ayahnya yang bajingan sepertimu."

Devan mendekatinya, dengan smirk yang tertancap di wajahnya. "Ayah? Siapa ayahnya? Kalau tidak terbukti, aku akan membuat hidup anak itu hancur, sama hancurnya denganku saat kau memutuskan memilih anak itu. Saranku, tinggalkan saja anak penyakitan tidak berguna sepertinya, dan memulai lembaran hidup baru, kita bahagia bersama, dengan anak-anak, tanpa anakmu yang tidak jelas siapa ayahnya."

Sania menggeleng dengan tatapan matanya yang terendam liquid bening, setiap perkataan Devan mampu menusuk ulu hatinya.

"Seharusnya gugurkan saja anak itu dulu, maka kita masih bersama sekarang."

"Diam!" Teriak Sania bersamaan dengan lelehan air matanya

"Hentikan omong kosongmu itu! Gampang sekali kau berbicara seperti itu, aku menyayanginya lebih dari pada apapun. Jadi jangan pernah merebut kebahagiaannya! Dan kau bertanya siapa ayahnya? Tentu saja dirimu, bodoh! Kau membuatnya dalam keadaan mabuk, mungkin kau lupa dan sama sekali tidak ingat, tapi perlu di ketahui, Alva itu anakmu, darah dagingmu. Jadi ku mohon, jangan pernah melampiaskan rasa kebencianmu terhadapnya, kalau aku boleh minta tolong, tolong sekali, perlakukan putraku sama dengan Aril dan Noel, Alva juga putramu, bahkan wajahnya saja lebih dominan dengan dirimu di bandingkan denganku!" Jelas Sania menggebu-gebu, tidak tahan dengan segala fitnah dan kebencian yang di layangkan terhadap putranya

Alva di dalam sungguh merasa dadanya sangat sakit dan sesak mendengar pertengkaran kedua orang tuanya, masih dengan tema yang sama, yaitu dirinya.

Walaupun tidak terlalu keras, tapi Alva dapat mendengarnya dengan jelas.

SurrendersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang