Suhu panas tubuh Alva yang tak kunjung turun, membuat daya tubuhnya semakin lemah dan berujung anak itu tidak sadarkan diri. Panas kemarin hari seperti semakin menjadi saja pada hari ini,
Dokter Rama di buat kewalahan, kompresan ringan di jidat saja tidak mempan, obat penurun panas pun seperti hanya lewat sekian, membuatnya sedikit dingin sebentar, terus meningkat tinggi lagi.
Sedangkan Alva sudah no respon, anak itu benar-benar sudah tidak sadarkan diri, total.
"Kenapa jadi panas banget gini?" Gumam Dokter Rama ikut bingung,
Beberapa suster menyiapkan air dingin di bak mandi di kamar mandi di dalam ruangan itu, atas perintah Dokter Rama, ia menyuruh beberapa perawat menyiapkan bak dengan isi air dingin, untuk menetralkan suhu panas tubuh Alva, untuk menurunkan hawa panas dalam diri Alva, anak itu sempat muntah dan kejang sebentar subuh tadi.
Dokter Rama mengangkat perlahan tubuh Alva yang hanya mengenakan singlet (kaus kutang khusus cowo se ketek) dan celana rumah sakitnya. Tulang tuanya masih mampu mengangkat tubuh kurus kerempeng Alva, Dokter Rama lalu meletakkan dengan perlahan tubuh Alva ke dalam bak berisi air dingin itu,
Tangan Sania juga ikut menjaga kepala Alva agar tidak terbentur oleh bak, meletakkannya hati-hati saat salah seorang suster memberikan bantal untuk sanggahan kepalanya.
"Alva .. " Panggil Sania sudah menangis lagi menatap anak itu,
Ayu menggenggam tangannya, agar selang infus yang menancap di tangannya tidak terkena sedikitpun percikan air.
Nada dering di handphone Sania dari tadipun ia abaikan, beberapa rekan kerjanya menanyakan perihal kenapa ia tidak masuk kerja tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas, sang pak bos juga sempat menelponnya tadi, tapi persetan dengan itu semua. Sania masih merasa sedih, bingung, khawatir, dan kacau dengan keadaan sang putra.
"Alva, kamu kenapa lagi sih nak? .. Buka mata kamu, sayang. Bunda mohon .. " Ujar Sania serak menangis sesenggukan dan sedikit bergetar, wajahnya sudah basah dengan air mata
Ayu mengusap lengan anaknya itu yang nampak rapuh, "Udah, San .. Bentar lagi panasnya hilang .. Normal lagi, Alva gak papa, kamu tenang dulu .. " Ujar Ayu
Sania menggeleng, ia benar-benar takut atas kejadian meninggalnya Alva waktu itu, ia sungguh takut kejadian itu terulang lagi, ia takut kali ini anak itu tak selamat, kata-kata Alva kemarin seolah membayang-bayangi nya.
"Ya seandainya nanti, jantung gue udah bener-bener berhenti berdetak, gue udah bener-bener mati, kalian gak usah kaget, jangan ada yang sedih, jangan ada yang nangis, harus ikhlas! .. "
"Aaaakh ... " Sania tiba-tiba berteriak dan menangis histeris, Ayu merasa kaget dan menatapnya
"San? .. " Ayu mengguncang pelan pundak Sania, menyadarkan wanita itu dari lamunannya
Dokter Rama mengintruksikan untuk membawa Sania keluar saja, pikiran wanita itu pasti sedang kacau, entah apa yang Sania pikirkan kali ini.
Sania hanya menurut tubuhnya di giring keluar dengan Ayu, salah seorang perawat yang mengantar ke depan kembali masuk, membiarkan dua wanita itu menenangkan pikiran yang kacau balau.
"Kamu kenapa? .. Ada apa? Ada yang mengganggu pikiran kamu?" Tanya Ayu mendudukkannya di kursi tunggu di luar
"Aku takut, Alva .. " Sania menggelengkan kepalanya dengan tetesan air mata yang perlahan terjun bebas
"Pikiran kamu terlalu jauh! Jangan pernah mikir kesana! Percaya, anakmu bakal baik-baik aja, Alva akan sehat lagi! Buang jauh-jauh pikiran burukmu itu. Cucu mama itu kuat, gak gampang nyerah, dia itu cucu mama yang hebat, dan Alva pastinya mikirin gimana bundanya kalo gak ada dia." Ujar Ayu
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrenders
Teen FictionDeskripsi? Tidak ada. Datanglah, siapa tau membuatmu betah. #sickstoryarea Jangan salah lapak, berakhir menghujat.