Hari ini, tepat tanggal ini, bulan ini, dan detik ini. Tepat satu Minggu Alva terbaring di rumah sakit, terbaring dalam brankar ICU, kondisi anak itu akhirnya di nyatakan membaik, walaupun sedikit.
Racun yang menyebar dan melemahkan jantung dan hampir semua alat vitalnya seperti halnya kadar oksigen yang kian rendah, fungsi paru-paru yang ikut lemah beberapa hari terakhir, dan tekanan darah yang terus turun, akhirnya, tubuh Alva mampu melawan racun jahat itu, tubuh Alva di nyatakan menang setelah bertarung beberapa waktu dengan racun itu.
Kini hanya satu, menunggu kesadarannya, yang semoga saja bisa. Dan menunggu keadaannya yang semakin membaik dan makin baik lagi.
Dan, baru hari ini, Sania sebagai ibunya baru di perbolehkan masuk menemui sang anak. Itupun di beri durasi, tak bisa seenak sesuka hati.
"Gimana? Kamu mau kerja atau?"
Sania menggeleng, rasanya berat meninggalkan Alva seorang diri disini. "Enggak, Din. Bilangin sama pak bos cuti, lagi .. Biarpun di pecat juga .. " Sania pasrah
"Enggak, kata pak bos, kamu di kasih izin libur sampe Alva baikan, aku usahain kamu gak bakal di pecat, tapi cutinya jangan lama-lama .. " Ujar Dina
"Aku gak tau mau cuti sampe kapan, tergantung Alva, aku benar-benar takut ninggalin dia sendiri disini, Din .. " Ujar Sania lirih
"Iyaa, aku ngerti, kita sama-sama wanita, aku ngerti betul bagaimana perasaan kamu. Walaupun aku bukan seorang ibu, dan gak pernah mengandung apalagi melahirkan anak, tapi aku ngerti gimana kalau seandainya aku yang ada di posisi kamu." Ujar Dina dengan sorot matanya yang teduh namun sayu
Sania hanya tersenyum, sudah takdir sahabatnya belum menemukan jodohnya, yang entah nyasar dimana.
Wanita itu melangkah pelan dengan jantung yang entah kenapa berdebar sangat kencang seperti ini, di tangan Sania ada wadah berisi air dan juga handuk, untuk membersihkan tubuh Alva.
Ini baru pertama kali ia masuk langsung menemui putranya itu, dua hari terakhir, hanya melihatnya melalui kaca, tapi biarpun begitu, Sania bisa sedikit lega, setidaknya matanya melihat sendiri putranya masih bernafas.
Air mata Sania tidak bisa ia bendung di hadapan Alva, hatinya menjerit, seolah 'mengapa harus Alva, dari sekian banyaknya manusia?'
Sania mencium dalam dan lama kening dingin nan hambar sang putra, rasa takutnya begitu besar untuk kehilangan permata hatinya itu.
"Bunda tau kamu kuat sayang ... !!" Ujar sania lirih, namun penuh penekanan
Suara mesin monitor juga terus membayang-bayangi kejadian kelam waktu itu, ia tidak bisa dengan suara-suara yang dua kali mengambil alih pendengarannya, tapi ia juga tidak mau, keluar meninggalkan Alva sendiri lagi disini, walau nyatanya ia juga akan di paksa keluar, pasti.
Sania mulai membersihkan tubuh Alva, dengan sangat hati-hati. Membersihkan beberapa bagian dari tubuh Alva, bahkan sampai sela-sela jari tangan dan kakinya.
Selesai dengan itu, Sania beralih memotong kuku Alva yang sudah agak panjang. Sania tersenyum pedih, wajahnya sudah merah menahan tangis, bulir air matanya juga dengan perlahan turun, Sania menundukkan kepalanya, menggenggam erat tangan Alva yang sudah ada dalam genggaman, dan menciuminya dalam.
"Alva .. Bunda mohon bangun nak .. Bunda gak kuat, sayang .. liat kamu kayak gini .. .. " Ujar Sania bergetar bercampur isak tangisnya
"Jangan siksa bunda kayak gini nak .. Bunda gak sanggup .. !!" Ujar Sania lagi
Ia bahkan tidak berani menatap lama wajah Alva, wajah yang entah sejak kapan perlahan jadi tirus itu, tubuh putranya yang kurus, dan wajah pucat putranya yang sudah pucat di tambah masker oksigen dan selang makan yang masuk menjadi satu dalam hidung Alva, semua itu sungguh, sangat menyiksa jiwa raga dan batin Sania sebagai ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrenders
Teen FictionDeskripsi? Tidak ada. Datanglah, siapa tau membuatmu betah. #sickstoryarea Jangan salah lapak, berakhir menghujat.