4. Princessa (b)

22.2K 1.8K 22
                                    

"Kok Cessa bisa tau, botol yang aku keluarin tadi botol alkohol?" Violet berbicara pada Eros di sisinya, meskipun berbisik, tetap saja Cessa yang duduk di sebelah kemudi apalagi suasana mobil hening masih dapat Cessa dengar.

Cessa mengutuk mulutnya yang sempat keceplosan, mengetahui tentu dari kehidupan pertama dia sebagai remaja labil, punya sepupu yang perangainya sungguhan liar.

Dia anak yatim piatu tinggal di rumah kerabat pihak sang Mama. Hidupnya lumayan terjamin dengan timbal balik Cessa harus jadi babu.

Pagi minggu Cessa bakal mendapati meja di ruang tamu Tantenya sekaligus lantai berceceran botol alkohol kosong, karena itu Cessa sampai hafal mereknya dari harga termurah sampai termahal.

"Mungkin lingkungan anak kita sebelumnya kurang baik, jadi dia tau. Ya, kan, Ter?" Eros sedari tadi diam akhirnya menemukan jawaban pas, sambil menoleh ke Chester yang duduk dekat jendela.

Chester mendelik.

Diam-diam Cessa berdecak lirih.

"Anak kita?" Violet tersenyum malu-malu, di mata Kaizar dan Chester tidak pantas. "Princessa emang anak kita berdua," lanjutnya pongah.

Tapi gue nggak mau, Kak. Ini karena terpaksa aja, orang tua gadungan kaya kalian semua.

Cessa membatin dengan ekspresi cemberut.

"Nanti cebong tinggal di rumah gue." Ucapan Chester menghentikan Eros yang hendak kembali bicara, Chester menyeringai kesenangan. "Kai juga udah setuju, enggak boleh ada penolakan."

Violet mendadak memajukan setengah tubuhnya ke jok depan, gerakan gadis berambut pendek tersebut kelewat heboh membuat Kaizar tengah mengemudi terkejut alhasil mobil oleng sesaat.

"Cessa harus tinggal sama gue, Kai." Violet memeluk si makhluk mungil yang makin pucat.

Eros ikut mengangguk. "Rumah Vio masih bisa nampung satu orang," timpalnya kalem.

"Ngomong-ngomong, sayang, pantat kamu jangan terlalu tinggi ... nanti aku bisa ke cium." Tak lama Eros menelan ludah kemudian oleh balasan Violet yang meliriknya tajam.

Eros kicep.

"Aw, sakit..." Cessa mengerang pelan dengan dekapan erat Violet, kulit kakinya terkena baret meskipun sudah diobati tanpa sengaja tertekan kursi, rasanya nyut-nyutan.

Violet kaget, buru-buru melepaskan. Chester memiringkan kepala menatap datar Violet, pada akhirnya gadis itu memutuskan duduk tenang.

Cessa sudah mengatakan kalau dirinya baik-baik saja dengan suara menggemaskan, tapi tetap saja suasana mobil dingin. Tidak lagi berisik seperti sebelumnya.

Cessa menoleh ke belakang, mata bundar Cessa refleks menyipit mengarah lurus ke Chester. Di permukaan terkadang Chester bisa bertingkah tengil yang minta di maki, namun ternyata cowok itu memiliki pengaruh besar di balik circle.

"Kayaknya Cessa minta duduk di sini." Chester menyimpulkan sekenanya, sementara Cessa mendengar itu tercengang, belum sempat bergeser mundur, kedua tangan Chester lebih dulu menyambar tubuh mungil Cessa.

Dia mana mau duduk berdempetan. Cessa meronta. "Papa bau!" serunya melengking.

Eros sukarela bergeser begitu pun Violet semakin menempel di jendela. Keduanya menyaksikan terpana sang balita.

Gue kegencet, kampret! Cessa membatin sebal sambil melihat kaki kecilnya di pegangi Chester, mengamankannya agar tidak ada kejadian jilid kedua Cessa yang kesakitan.

Alih-alih terharu Cessa justru tambah jengkel karena setelah itu kepala Chester bersandar di pundak rapuhnya.

"Berat..." Cessa merengek, mendorong kepala Chester. "Papa, berat!" Jika sekali lagi Chester meletakkannya, Cessa kehilangan kesabaran kali ini berencana mengigit lengan Chester.

"Lo wangi." Chester tersenyum menawan sambil mencubit pipi bulat Cessa.

Violet tahu-tahu berdehem keras lalu menyahuti. "Gue yang bantu Cessa mandi tadi, pakai sabun dan sampo punya gue udah cocok belum jadi Mamanya Cessa?" tanya Violet serius.

Eros dan Chester saling tatap, lima detik kemudian kompak menggeleng bikin gadis berambut pendek itu menahan diri tidak berteriak memaki.














***











"Satu jam lagi kita sampai di ibukota," ucap Kaizar. Cessa yang satu-satunya duduk di bangku pualam panjang dengan meja di depannya terkejut, berakhir kesulitan menelan biskuit di mulut.

Cessa mengira Kaizar tidak akan mungkin berbicara dengan seorang balita, apalagi gerak-gerik cowok itu tampak kikuk sebelumnya saat membantu Cessa minum.

Berbeda tiga orang lainnya yang berpamitan pergi entah ke mana, selalu antusias hingga Cessa kewalahan sendiri.

Kaizar bertopang dagu membuat Cessa menciut, tatapan lekat Kaizar membuat Cessa agak sesak napas karena tidak sanggup melihat rupa Kaizar yang tampan.

Boleh nggak ya jadi balita genit? Cessa membatin konyol.

"Papaaa...." Cessa memanggil sambil mengerjap, berusaha seimut mungkin. "Kotor, tangan Cessa kotor." Tangan kanan terulur sesekali bergoyang.

Kaizar bergumam mengiyakan lalu menarik tisu dari dalam kotak mungil di tengah meja, perawakan tingginya sedikit condong pada Cessa, memegangi lengan kanan Cessa sementara tangan satunya membersihkan jemari kecil si balita.

"Jangan panggil gue Papa." Kaizar berujar lempeng. "Gue bukan Papa lo dan gue masih perjaka, orang-orang bisa salah paham. Panggil gue Kakak," lanjutnya.

Sebagai balasan Cessa menyemburkan biskuit di mulut yang baru dia masukkan.






















****






Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang