1. Terkabul

32.6K 2.1K 314
                                    

Cessa tidak tahu harus bereaksi bagaimana, ketika tubuhnya di giring menuju sungai dangkal yang sekitarnya banyak bebatuan.

Pakaian Cessa lalu di lepas satu-satu oleh sosok perempuan bersuara melengking tiap diajak bicara dua orang cowok, yang sekarang entah pergi ke mana. Sekali lihat Cessa menyimpulkan perempuan di hadapannya ini gampang emosian.

Cessa telah siap di maki habis-habisan atau kalau bisa dia ingin sekali kabur, jika nantinya pihak lain lengah.

"Celana dalamnya beneran nggak mau di lepas?" Gadis perawakan semampai dengan model rambut pixie cut itu memiringkan kepala, memandangi Cessa bingung.

Pipi Cessa mulai merona. Mimpi apa dirinya tadi malam sampai jiwanya memasuki raga bocah pendek, mungkin satu kali terinjak sudah jadi geprek.

Cessa mengangguk kaku. Pasrah saja saat gadis itu menggendong tubuh mungilnya lalu tanpa aba-aba mencelupkan ke dalam pinggiran sungai.

"Nama gue ... Violet, jadi panggil Mama." Gadis itu tengah menggosok punggung telanjang Cessa berdehem sekali, tak lama kemudian tersenyum lebar.

Namanya Violet, tapi mau dipanggil Mama sama sekali enggak nyambung.

Cessa membatin linglung. Alih-alih dipanggil Mama, Violet bersama dua cowok itu, lebih pantas Cessa panggil Kakak, karena usia jiwanya yang asli di kehidupan pertama lima belas tahun.

"Kenapa anak kecil ada di sini? Oh, kayaknya harapan gue pas bintang jatuh semalam terkabul." Violet bergumam konyol sambil tertawa.

Cessa membuang muka, menahan diri tidak bertingkah sembrono lagi pula siapa yang mau punya orang tua semacam Violet. Beberapa jam dekat Violet, telinga Cessa di bikin pengang.

"Jangan-jangan lo sengaja di buang di hutan ini."

"..."

"Tapi, nggak papa. Kami bakal berbaik hati urusin lo sekalian cari identitas lo yang sebenarnya."

"..."

"Yang tadi itu namanya Chester sama Eros. Badannya tinggi kekar terus pakai tindik, Chester, oke? Kalau Eros udah jelas yang paling ganteng ada tahi lalat di bawah bibir kiri, warna matanya biru."

Cessa melirik aneh Violet, saat nama terakhir disebut Violet langsung salah tingkah.

"Masih ada dua orang lain lagi, tapi posisi mereka di kota, lusa nanti kita semua baru pulang."

Hari itu tiba Cessa memutuskan mantap minggat. Demi apapun Cessa sungguhan tidak mengenali mereka, firasatnya mengatakan mereka bukan lah orang-orang yang waras.




***






Orang gila mana yang meletakkan mesin jahit di atas tebing batu? Tentu saja orang gila itu cowok yang memperkenalkan diri dengan nama Chester.

Selesai makan ikan bakar tanpa nasi, Cessa kembali di tuntun mengikuti salah satu di antara mereka dan itu adalah Chester, belum sempat Cessa menolak Chester lebih dulu memegang lengannya.

Cessa sedikit tegang sebelumnya, mendapati tangan besar Chester bisa saja meremukkan tulangnya.

Terduduk diam di meja mesin jahit manual, Cessa membalas polos tatapan Chester yang mengamatinya.

"Jadi, nama lo Cessa?" Chester menatap kaki kecil sang balita sesekali tertangkap gemetaran. "Lo takut sama gue?" tanyanya sembari menunjuk diri sendiri.

Bagi Cessa, bukan takut melainkan sangat takut. Dia merasa seperti kurcaci di dekat Chester sekaligus berpikir, kalau Chester akan menindasnya.

Cessa tersentak mendengar gelak tawa nyaring dari sosok di depannya kemudian.

"Lucu banget." Di sela tawa, Chester mencubit gemas pipi Cessa yang termangu. "Mulai sekarang panggil gue Papa, ingat itu!" ujarnya serius.







***








Cessa sudah lama terbangun, namun dia sengaja berlama-lama di dalam tenda cuma memandangi hampa tangannya secara bersamaan mengangkat sepasang kaki mungil yang berkulit pucat. Tak cukup Cessa beralih menyentuh telapak kaki yang terasa dingin.

Tidak.

Dari wajah sampai jari-jari kaki Cessa benar-benar dingin. Apa dia akan mati dua kali karena terserang hipotermia? Cessa semakin mengeratkan selimut.

Sudut mata Cessa melirik pintu tenda yang agak terbuka hanya menemukan di luar sana senyap dan gelap, tidak berisik seperti biasa. Pembicaraan mereka terkadang terlalu mengerikan saat Cessa sengaja menguping.

Dia butuh selimut lebih banyak, tidak ingin mati jilid kedua Cessa lalu bergeser mendekati pintu tenda, kepala Cessa melongok keluar.

"Mama ...." Cessa memanggil canggung dengan pipi kembali merona, pasalnya sebutan itu telah lama sekali tidak terucap di bibirnya.

Terakhir kali mungkin kala Cessa berusia delapan tahun di kehidupan pertama.

"Ya?!" Tidak sampai tujuh detik sahutan terdengar di susul derap langkah menghampiri.

Cessa mendongak susah payah, penerangan mengandalkan api unggun dan cahaya bulan di langit sana tidak membantu dia melihat semuanya lebih jelas.

"Kenapa? Astaga, kulit lo dingin banget!" Violet berjongkok dengan tangan menangkup pipi Cessa.

Kepala Cessa semakin pening setelah mencium bau karat di dekat hidungnya. Cessa yakin itu berasal dari Violet.











****





Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang