30. Renggang

10.9K 1.3K 125
                                    

Cessa berjalan lesu, pada akhirnya mereka akan meninggalkan area pemakaman dan menjadi orang terakhir melewati gerbang tinggi di depan sana. Sela langkah pendek, terkadang Cessa berharap ini hanya halusinasi.

"Aku gak mau pulang!" Cessa berbalik lalu mendongak, memandangi Kaizar berhenti selangkah di belakang.

"Masih pengen liat Mama." Jemari Cessa memilin gelisah ujung dress hitam melekat di tubuhnya.

"Boleh, tapi sambil gandengan." Kaizar mengulurkan telapak tangan yang segera sang balita sambut dengan senyuman lega.

Begitu saja, keduanya kembali ke tempat semula meninggalkan Agas yang merengut, mau tak mau mengikuti kemudian.

Cessa kira sudah cukup menangis untuk hari ini, namun ternyata belum cukup, menelan saliva pahit, Cessa mengusap nisan berbentuk persegi di depannya.

"Aku, makasih Mama ...." Air mata Cessa berjatuhan. "Kak Violet, aku sedih banget." Cessa melanjutkan berbisik, tak mengizinkan suaranya terdengar Kaizar dan Agas.

Dia ingin berlama-lama di sini, menatap nisan terukir nama Violet dengan tanggal kelahiran sekaligus kematiannya.

"Kak Kai," panggil Cessa serak, melirik Kaizar berjongkok di samping sementara Agas konsisten berdiri bungkam, raut wajah Agas yang selalu dingin membuat Cessa langsung kicep untuk memanggil.

"Seharusnya kalian juga sedih kaya aku, kenapa kalian gak sedih?" Cessa bertanya sedikit terusik, melihat dua orang di dekatnya sekarang justru terkesan biasa-biasa saja.

Kaizar mengerjap, tangan kanan Kaizar memegang dagu Cessa supaya tertoleh padanya, ibu jari remaja laki-laki itu mengusap buliran bening membasahi pipi sang balita.

"Gue sedih, tapi cukup gue aja yang tau." Kaizar menjawab penuh arti. "Pastinya, satu malam nggak cukup ceritain kenangan kami sama Violet." Kaizar menepuk-nepuk lembut puncak kepala Cessa.

Bibir Cessa terkantup rapat, susah payah menahan isakan, Cessa menubruk tubuh tegap Kaizar, memeluknya erat.






***









Valeria mengerang frustasi, meraih tisu sebanyak mungkin, membersihkan lelehan darah dari hidungnya. Dalam batin mengumpati kelakuan sinting Chester.

"Gue mau balik, sialan! Kota ini bukan tempat gue, brengsek!" Gadis berambut tipis tersebut setengah menjerit, bola matanya berwarna serupa dengan Violet mulai berkaca-kaca.

"Tapi, gue maunya lo tinggal di Losia. Suara lo jangan keras-keras, oke? Nanti Mama gue bisa cubit lo sampai biru karena udah berani maki gue," sahut Chester dengan senyum ironi.

Valeria tercekat, tidak bisa menyembunyikan kegugupan kemudian. Jemari ringkih Valeria bertaut di atas paha.

"Buka pintu kamarnya." Ekspresi Valeria memelas. "Gue pengen pulang, udah cape banget, Chester." Tatapan mereka saling bertemu, secara terang-terangan Valeria memperlihatkan kepedihan di matanya oleh kenyataan yang ada, bahwa kembarannya benar-benar telah pergi.

Chester berdecak lirih. "Sebelum itu tarik dulu kata-kata lo tadi, gue nggak suka." Kaki panjang Chester melangkah maju, merampas gumpulan tisu di genggaman Valeria, lalu membuangnya sembarangan ke lantai.

Gadis mengenakan mantel gelap itu berusaha tidak ciut. "Mana bisa, gue beneran nggak mau lagi punya hubungan pertemanan sama kalian semua." Suara agak tergugu, dia melanjutkan. "Kakak gue mati terbunuh, Eros gagal ... seharusnya jadi pacar baik, lindungin Kak Vio!" Buku jari Valeria terkepal.

Chester sontak menjauh, kali ini mukanya merah padam jelas sekali ucapan Valeria berhasil memancing emosi Chester.

"Setelah gue, sekarang lo salahin Eros, bukannya lo udah liat rekaman kejadian itu!" Chester berteriak kesal.

"Intinya gue nggak sudi lagi berurusan sama kalian semua. Gue beneran jijik termasuk Bagaskara yang punya penyakit aneh!" Valeria membalas membentak menyisakan kepalanya mendadak berdenyut sakit.

Raut wajah Chester luar biasa menyeramkan yang menjadi alasan Valeria menunduk dalam, namun Chester tidak mengatakan apapun saat Valeria menanti tegang justru Chester berjalan melewatinya, membuka pintu kamar, membanting keras.






***







Cessa terbangun kala merasakan badannya seolah tertimpa beban berat, hampir saja Cessa berpikir tengah ketindihan.

"Aaaaaa, tuyul!" Cessa memekik sembari mendorong kuat sosok yang duduk di perutnya alhasil pantat gempal pihak lain mendarat mulus di lantai.

Cessa tergesa duduk. "Siapa? Hei, jangan masuk kamar orang sembarangan!" Cessa menunjuk sebal bocah laki-laki di sisi ranjangnya setelah menyadari mana ada siang bolong begini muncul hantu.

"Aku, Tirta." Dia beranjak, mengulurkan lima jari mungilnya pada Cessa. "Adik Kak Eros, Kakak bilang aku harus jadi teman main kamu." Manik biru itu berbinar riang.

Cessa mematung, sama sekali tidak menyambut. Tirta memiringkan kepala bingung, lama-kelamaan menurunkan tangan kanan karena mulai penat, dia menaiki kasur, bersila depan Cessa.

"Aku kenal Kak Violet." Tirta berujar lugu. "Kamu mau dengar cerita aku soal Kak Violet." Melihat Cessa mengangguk cepat membuat bocah enam tahun itu tersenyum lebar.







****







Mau yang mana:

1. Part pendek, tapi update tiap hari.

2. Part panjang, tapi update seminggu sekali atau dua kali.

Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang