23. Sorrowful (a)

11.3K 1.2K 99
                                    

Di dunia ini, Cessa benar-benar tidak pernah lagi memegang peralatan memasak. Tidak juga memegang pisau untuk mengiris bawang tipis-tipis, tiap kesempatan Cessa terkadang melamun, sampai tanpa sadar menyayat kulit jari.

Menurutnya itu sudah sakit, namun dia tidak pernah menyangka akan ada kejadian di mana belati bersarang dalam perutnya, pada waktu yang sama menyaksikan senyuman keji sang pelaku.

Ini sangat sakit, pipi Cessa banjir oleh air mata dengan badan menggigil. Posisi setengah sadar, Cessa mulai berpikir konyol, jika nyawanya mungkin telah berada di ujung ubun-ubun.

Ditya tertawa puas sambil mencabut lembut belati diperut sang balita, dalam batin menghitung angka, dan benar saja belum sempat hitungan kelima pintu terbanting keras.

Ditya menoleh, sejenak terperangah mengenali sosok yang berdiri di ambang pintu.

"Bagaskara?" Ditya bangkit, berbalik sepenuhnya. Bibir tersebut mengukir seringai tipis. "Sampai kapan lo jadi hewan peliharaannya, Izal? Gue turut berduka..." lanjutnya bernada main-main.

Kehadiran kedua orang itu kali ini menjadi atensi. Di depan jendela yang hancur, Rean melepaskan cekikannya dari tengkuk Violet alhasil gadis berambut pendek tersebut terduduk keras.

Rean menghampiri Agas dengan lambaian singkat. "Halo, teman lama. Kalo lo di sini berarti yang lain ada di bawah, kan?" tanyanya datar.

Alih-alih menyahuti, cowok remaja bermata jelaga itu justru memandangi lurus Rean, keningnya berkerut, lalu membuang muka, menyisakan pihak lain tersinggung berat.

"Bangsat!" Rean berteriak memaki, sebelum benar-benar menerjang Agas, wajahnya lebih dulu tertoleh ke samping karena satu tinjuan kencang mendarat di pipi Rean.

Izal meniup buku jarinya. "Silahkan, Tuan." Dia mencengkeram pundak Rean, memaksanya bergeser menyamping.

Agas tetap diam meski satu penghalang sudah ada dalam genggaman Izal, tapi dia yakin itu tidak lama.

Rean jelas memberontak kuat di kuncian Izal, sekali teriakan perintah Rean pada akhirnya, tujuh pria mengenakan slayer di muka sedari tadi ancang-ancang di pojok ruangan langsung menyerang Izal.

Mengabaikan kegaduhan yang terjadi, Agas berjalan mendekati Ditya, tanpa takut sikap tenangnya itu bisa saja berdampak fatal.

"Anak pungut kalian mati." Ditya memberitahu dengan kekehan geli, kakinya hendak mengayun menendang paha mungil sang balita, namun teriakan sumpah serapah Violet kesekian kali menodai ego Ditya.

Violet melangkah terhuyung, tangan dan kaki Violet tidak lagi terikat rantai.

"Gue bersumpah, lo bakal mati di tangan gue!" bentaknya judes. Violet melirik Agas. "Bawa cebong ke hadapan Kaizar, kita semua tau cuma Kaizar yang bisa dipertolongan pertama." Mata Violet agak memerah, dua detik berikutnya menubruk tubuh kurus Ditya hingga menghantam kencang lantai.

 



***







"Salah, Vio. Gue yang bakal bunuh lo, gue sendiri. Serius!" Seruan itu cukup nyaring sampai-sampai Chester menoleh.

Dua orang Chester kenali tengah bergelut sengit, bukan hanya Chester yang menaruh perhatian ke arah tangga, melainkan Eros juga. Menyadari kekasihnya terluka di mana-mana, Eros berlari tergesa dengan raut wajah muram.

Belum sempat Chester menyusul Eros, kedatangan seseorang yang tiba-tiba mencegat setelah melompat dari atas kapal, suka tak suka Chester menyambut.

Lagi pula sosok di depannya sekarang, termasuk dalang dari semua kekacauan yang berlangsung.

"Prasangga." Rean menyapa, kepalanya tertunduk beberapa detik, bagi Chester sebatas sandiwara murahan.

Jika sebelumnya Agas yang bertingkah congkak, kali ini giliran Chester, sama sekali tidak membalas berarti.

Chester justru mengangkat dagu kemudian secara bersamaan mengacungkan pedang tepat berjarak sejengkal ke muka Rean.

Rean terperangah.

Chester tersenyum iblis. "Bukannya gue pernah peringatin lo dan Ditya untuk gak menyinggung gue." Chester lalu menendang pedang lain dekat kaki yang teronggok di lantai.

"Lawan gue, cuma kepala lo yang berguna sebagai persembahan ke Datuk," sambungnya dingin.

Rean bergumam mengiyakan, tatapan berbinar licik, menerima sukacita tantangan pihak lain.

"Gimana kalau lo yang kalah?"

"Mustahil."

"Kesombongan lo terlalu mendarah daging, Chester. Orang-orang bisa muntah darah karena sikap lo ini."

Rean mengayunkan pedangnya yang segera Chester hindari, segalanya terjadi begitu saja. Saling serang dengan tujuan yang sama.

Mata Chester berkilat aneh, ada kepuasan dalam dirinya. Genggaman pada gagang pedang mengerat seiring waktu, menghunus lihai ke depan.

"Pembunuh bayaran yang lo ambil jasanya sekarang, ada campur tangan Datuk gue, kan?" Chester bertanya berlagak penasaran di sela pedang mereka yang saling membentur.

Rean tidak menyangkal, terang-terangan mengungkapkan jujur. "Iya, Tuan Arius minta gue menghabisi Violet." Rean menghindar kala benda logam itu hampir menggores pipinya.

"Benar-benar cari mati." Chester berbisik nyaris tak bisa didengar, ekspresi menggelap, Chester bergerak maju. Mengeluarkan semua kemampuannya tanpa mengizinkan Rean mengambil napas sedikit pun.

Rean luar biasa terkejut. "Sebenarnya pacar si sampah itu lo atau Eros?" jawabnya, nada suara Rean agak gagap.

Chester terbahak kencang, mengetahui Rean mulai pucat sekaligus kewalahan.

"Jadi, siapa yang udah bikin Princessa berdarah-darah sekarat?" Chester malah bertanya balik, dia tidak mungkin salah lihat, Agas yang sempat berlari lewat di balik punggung Rean, genangan darah mencemari lantai seolah-olah bukan lah apa-apa, sementara sosok kecil berada dalam gendongan Agas.







***







Bagaimana ini? Cessa jadi panik sendiri menyadari matanya belum terpejam pingsan. Telinga Cessa justru berdengung hebat, makanya tangan Cessa berusaha menggapai apapun kemudian.

"Cessa."

Mendengar panggilan itu, Cessa membuka paksa kelopak mata, ingin sekali mengadu, kalau dia tidak bisa kehilangan kesadaran.

Lidah Cessa berubah kelu, bibir terkantup rapat, mengenali siapa yang berjongkok sukarela detik ini adalah Agas.

"Jangan mati." Air muka Agas terkesan tegang sementara Cessa melihat sayu. "Kaizar butuh adiknya." Tepat ucapan itu keluar disusul Agas memegang lengan Cessa, detik berikutnya mata bundar itu terpejam rapat.











****




Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang