38. tidak menyesalinya

6.2K 868 53
                                    

Merasa baikan dari tersedak, Chester duduk menghadap Kaizar. Menyaksikan wajah frustasi pihak lain untuk kesekian, padahal Chester kira dua tahun lalu yang terakhir kali.

Sembari membersihkan dagu yang basah menggunakan tisu, Chester menyahut tenang. "Bukannya selama ini lo yakin banget kalau dia anuja, jadi kenapa malam ini lo ragu?" Ibu jari Chester mengusap pinggiran seloki di pangkuan, melirik Kaizar masih dapat duduk tegak tanpa menunjukkan tanda-tanda mabuk meski satu botol alkohol tandas.

Chester menghela napas. Jika di sini Agas ikut hadir di antara mereka, sudah pasti Agas semakin di atas angin, barangkali senang akhirnya Kaizar berada dalam keyakinan yang sama. Selama ini Agas masih belum percaya jiwa yang hancur tercerai-berai itu telah menyatu.

"Lo ingat, tiap reinkarnasi sekali pun umur kita bertiga nggak pernah sampai delapan belas tahun, semuanya berakhir mati. Bunuh diri." Chester tercekat sesaat. Mau tak mau meneruskan. "Bunuh diri kita bertiga selalu di bagian yang sama, yaitu leher. Untung aja kewarasan gue masih tersisa ...." Chester tertawa, ternyata menggorok leher benar-benar pilihan mengerikan.

Chester menertawai memberikan ide sinting itu pada Kaizar di masa silam, makanya Chester memaklumi Agas yang suka mengatainya, memaki kasar terang-terangan. Pasti Agas menyimpan dendam menahun.

"Sampai sekarang gue enggak bisa liat jiwanya," ungkap Kaizar lirih.

"Belum terjadi, lo harus sedikit bersabar." Chester tersenyum samar. "Gue menghormati lo, Kai. Sangat. Lo tau itu." Dia menunduk sekilas, seandainya Kaizar tidak terlalu sensitif dengan masa lalu, Chester tidak keberatan mereka saling bercerita, mengenang kehidupan masa lampau.

Kaizar menoleh pada detik yang sama Chester mengangkat gelas kecilnya, mengajak bersulang tidak lama kemudian Kaizar sambut baik.

"Gue bukan sosok agung lagi. Gelar mengekor kaya dulu udah hilang jadi lo diizinkan tertindak seenaknya kalau berhadapan sama gue," celetuk Kaizar.

"Maksud lo?" Kening Chester berkerut berlagak tak paham.

"Lo boleh marah sama halnya Agas yang marah setengah mati ke gue waktu itu, gara-gara masalah gue kalian berdua ikut terseret sampai sejauh ini," jelas Kaizar gamblang.

Chester terdiam beberapa detik. Menatap lekat Kaizar tengah meneguk kembali wiski. "Buat apa gue marah? Kan, lo tau semuanya atas kemauan gue sendiri. Demi apapun gue nggak pernah menyesal ikutin lo, Kai!" Terselip ketegasan dalam tutur katanya alhasil Kaizar terperangah lama.




***





Cessa terbangun bertepatan ketika menangkap derap langkah kaki ribut disusul bunyi berdebuk nyaring. Menggeliat, Cessa menyibak selimut memutuskan turun dari ranjang.

"Papa!" Cessa memanggil setengah ragu, mata menyipit di antara temaram kamar, berjalan tergesa ke arah jendela, di mana Chester berusaha menggeser gorden.

Cessa memegang lengan kiri Chester, menahan susah payah tubuh besar Chester yang hendak tumbang. Tidak perlu bertanya, Cessa menyimpulkan kalau Chester jelas mabuk, bau khas alkohol tercium menyengat.

"Konyol." Cessa bergumam, detik kemudian menjatuhkan Chester ke lantai. "Kenapa Papa mabuk?" Berjongkok, Cessa menepuk-nepuk pipi Chester, mulut itu meracau acak. Jujur, ini pertama kalinya Cessa menemukan Chester kobam apalagi menerobos kamarnya, di saat jam telah melewati dini hari.

Hening.

"Aku mau tidur, jangan ganggu."

Tidak ada tanggapan ... justru Chester memalingkan muka, air liur menetes sembarangan, wajah menawan Chester di indra penglihat sekarang Cessa sebagai templat tak berguna.

Cessa berdecak sebal, kontan meremas rambut mulai lelah sekaligus mengantuk. "Papa bangun, lebih baik tidur di kasur aku aja. Kalo aku seret ke kamar Papa, gak mungkin," katanya tambah brutal menepuk pipi Chester.

"Vale, aku suka kamu." Tahu-tahu Chester berujar, menghentikan si bocah perempuan yang berniat mencolok hidung Chester. "Jangan benci aku, ya?" Suara itu bernada merengek bikin Cessa mendengar sedikit geli.

Cessa berdehem. "Papa salah orang, aku bukan Kak Valeria." Sambil menunjuk mukanya sendiri, seiring mata bening Cessa melotot lebar. "Aku Princessa, Cessa!" sambungnya tegas.

Siapa yang tahu respon Chester tertawa lalu meraih cepat badan mungil Cessa, menariknya ke dalam sebuah pelukan.

"Ternyata emang bukan Valeria." Chester berbisik, menekan wajah bulat Cessa makin bersandar di dadanya, tanpa terusik sang bocah lama-kelamaan meronta.

Di momen seperti ini lah, Cessa ingin cepat-cepat tumbuh besar. Kurang ajar! Chester sungguhan binatang menggonggong.

"Valeria nggak tepos kaya gini, terakhir kali gue liat fotonya dia lumayan seksi." Chester meracau serak, mengelus puncak kepala Cessa.

Cessa mendelik langsung waspada saat Chester beralih mengubah posisinya jadi duduk.

"Princessa."

Sontak, Cessa mendongak, namun yang ada keningnya dihadiahi membentur dagu Chester.

"Dengar, Papa itu mabuk. Aku yakin Papa belum teler-teler banget." Cessa meletakkan telapak tangannya pada mulut Chester yang mangap. "Semahal apapun alkoholnya, mulut Papa itu tetap bau nggak enak dan aku nggak suka." Ekspresi Cessa kentara cemberut.

"Begitu?" Chester mengerjap sembari menggengam tangan kecil Cessa tidak lagi semungil dulu.

"Kalo gue bau berarti Kaizar juga bau," ucapnya terkekeh geli.

"Iya." Cessa mengangguk berlagak paling benar. "Papa, Kak Kaizar ikut mabuk juga? Kok bisa?!" Giliran Cessa heboh, menggebuk pelan pundak Chester. Menuntut penjelasan.

Chester mendadak menyentil hidung bangir Cessa. "Kaizar minum. Tapi nggak mabuk, palingan cuma nginap di pub semalaman, berdoa aja Kaizar selamat dari jalang yang bertindak cabul." Bibir Chester senyam-senyum seolah membayangkan kejadian itu memang terjadi.

"Mana boleh!" Cessa menjawab dongkol.

"Bercanda, cebong." Chester tergelak terhibur, kali ini Chester sendiri yang kembali merebahkan diri ke lantai, menempatkan Cessa duduk di atas perutnya. "Sedikit pun gue nggak pernah menyesal, serius. Sayangnya Kaizar terkesan nggak percaya." Dia mengeluh letih.

Cessa berkeding linglung.

"Gue belum pernah liat persaudaraan kaya kalian, Kaizar sama sekali gak nyerah walaupun udah kesakitan parah." Raut wajah Chester tampak pahit melanjutkan.

"Nama lo sebenarnya Nayanika Aruna, adiknya Kaizar ..." Mata Chester lalu terpejam sepenuhnya, meninggalkan keheningan panjang di kamar luas itu.










****









Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang