Teruntuk, Eros.
Kapan kita kencan romantis lagi?
Kali ini, benar-benar berdua.
Aku sangat menantikannya.
Aku cinta kamu <3-Violet Alisia
Dia membaca pahit secarik kertas lusuh di tangan dengan binar terhias sendu. Jantung berdebar, tertampar oleh kenyataan yang ada.
Eros menelan ludah sembari meletakkan buket bunga freesia di atas pusara. Bagaikan ada kerikil menyumbat tenggorokan membuat dia sedikit kesulitan berbicara, seiring mata mulai memburam.
"Kertasnya selalu aku bawa, selipin di dompet. Maaf, aku nemunya baru satu bulan setelah kepergian kamu." Di menit kesepuluh barulah Eros bisa mengeluarkan suara, terdengar serak.
Tersenyum samar, Eros melanjutkan. "Aku udah dua puluh terus besok ultah Chester, tingkahnya masih sama, minta dipukul." Eros mengembuskan napas beberapa kali dengan kepala semakin tertunduk. "Tapi, aku enggak berani, sayang." Dia tertawa lirih diakhir kata.
Eros tidak pernah menghitung sebanyak apa menangisi semuanya. Terbayang dari kata seandainya jika saja tidak lengah, sudah pasti sang kekasih masih ada ... di sampingnya. Dia kembali melirik kertas, sekali lihat menyadari ditulis dengan terburu-buru, barangkali saat itu Violet tak mau tertangkap basah.
"Maaf ...." Eros menempelkan telapak tangan kanan ke mata, air bening mengalir dipipi. Perasaan menyesal mencekik, terus-terusan menyalahkan diri.
Bagi Eros, sudah sepantasnya Valeria juga memutuskan pertemanan mereka termasuk Eros yang paling Valeria benci di sini, rasanya dia tidak punya muka lagi bertemu Valeria meskipun ingin.
"Orang-orang itu udah aku hukum," ucap Eros mengingatkan. Tiap datang ke pemakaman akan selalu bercerita tanpa pernah bosan. "Adik bajingan itu sampai sekarang masih jadi peliharaan Tirta, selamanya bakal seperti itu."
Eros bungkam beberapa saat, satu tangan yang lain setia mengusap batu persegi dingin di hadapannya.
"Cebong." Eros berdehem, tatapan mata tidak lagi sesedih tadi. "Maksud aku, Princessa. Tinggi badannya udah nggak sependek dulu, dia manis terus agak ceriwis. Cessa belum mau sekolah, katanya belum siap ketemu orang banyak, aku tau itu cuma omong kosong dia aja." Eros tersenyum.
Eros bercerita begitu banyak hal. Rambut halusnya sesekali tertiup angin dan dia menjadi satu-satunya berada di taman pemakaman sore itu.
***
Sosok jangkung seperti Kaizar terkesan mencolok di kamar yang senyap sekaligus minim cahaya itu, tiap langkah kakinya tampak hati-hati mendekati ranjang di tengah ruangan.
Meyakinkan diri tidak akan ketahuan Kaizar lalu menekuk kaki tepat di sebelah ranjang, sengaja menyamakan posisinya pada anak perempuan yang sedang tertidur miring, kebetulan menghadapnya, butuh keberanian Kaizar menyelinap masuk ke kamar ini, mengambil kesempatan pihak lain terpejam pulas.
Bibir Kaizar mengulas senyum geli mengingat gerak-geriknya sudah persis maling.
"Aku, di sini." Dia berbicara tanpa suara sambil ibu jari mengelus gugup wajah si bocah perempuan, menuju dua tahun ... momen-momen kebersamaan mereka berdua, tentu selalu Kaizar simpan baik dalam memorinya. "Aku sangat berharap bahwa ini, kamu." Kaizar mereguk saliva, raut wajah biasa kalem alami itu terlihat sentimental sekarang.
Kaizar bertanya-tanya berapa kali dia harus menusuk leher sendiri saat mendapati jiwa pihak lain masih hancur, terpecah-pecah memilukan. Melompati satu dimensi ke dimensi lain bahkan tiap masa kehidupan tidak ada yang berumur panjang, dan bodohnya dua orang bersumpah setia mengikutinya.
"Kai!"
Lamunan Kaizar buyar beralih tersentak oleh panggilan lumayan keras itu, sontak Kaizar menoleh panik ke ambang pintu yang ternyata tidak sempat dia tutup.
Tidak ingin kehadirannya berujung disadari si punya kamar, Kaizar tergesa menghampiri Chester.
"Lo ngapain?" Chester menyipit curiga, melongok mengintip. "Cebong tidurnya emang kaya orang mati," sambung Chester memberitahu.
"Berisik," sahut Kaizar pelan, melengos pergi melewati Chester dengan ekspresi kaku.
Chester menyaksikan itu mengulum senyum, sebelum membuntuti Kaizar, Chester lebih dulu menutup pintu kamar pada detik yang sama melirik sekilas Cessa.
"Dia harus tau keputusasaan lo, Kai." Chester berbisik, mata jelaganya berbinar penuh arti.
***
Agas membuang kasar topi kerucut di tangan ke dalam kotak sampah, tampang muka Agas seolah tidak sudi sekali memakainya.
"Konyol." Dia bergumam sarkas, bagi Agas tidak ada yang patut dirayakan hari ini, beranggapan pesta kecil-kecilan Chester buat adalah kekanakan.
Belum sempat Agas berbalik, tubuhnya lebih dulu terhuyung sembrono ke depan.
"Kak Aga jahat banget."
"Lo, sialan banget!"
Agas menjawab dengan cibiran sinis sembari mencubit kecil sepasang lengan yang tengah melingkar diperutnya. Kelakuan Agas itu tentu di balas gebukan pada pundak.
"Sakit." Cessa melotot sebal, melompat turun dari punggung Agas. Mengusap kulit yang memerah. "Anak set---" Kata-kata Cessa tertelan karena keningnya di dorong.
"Jangan dekat-dekat gue," ucap Agas memperingati. Rasanya mata Agas sakit melihat pernak-pernik melekat di badan Cessa.
Seakan paham maksud tatapan Agas, Cessa berujar malu. "Papa Teter mau aku pakai ini." Tangan Cessa menangkup pipi, melirik tertekan rok tutu mengembang selutut dia kenakan.
Agas berdecak lirih, tanpa mengatakan apapun meninggalkan Cessa sendirian di bagian samping kediaman Chester.
****
Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Gummy [END]
FantasyCessa dibuat kalang kabut usai menyadari keanehan menimpa dirinya. Alih-alih mati usai jatuh dari lantai jpo, Cessa malah memasuki tubuh anak balita berusia lima tahun, mana berada di tengah hutan lagi! **** Mulai : 29.09.2023 Akhir : 02.05.2024 ⚠D...