21. Dua Hari

11.2K 1.2K 40
                                    

Sebelum Violet menerjang, Ditya kembali mengancam dingin. "Lihat, di sana ada mobil hitam." Setelah berbalik badan, Ditya memposisikan diri di sebelah Violet lalu merangkul paksa bahunya.

"Di dalam sekitar lima orang pegang senjata, bersiap nembak lo atau mungkin si mungil ini!" Sudut mata Ditya melirik Cessa.

Raut wajah gadis bertubuh tinggi itu sedikit melunak, buku jari tadinya terkepal kuat-kuat perlahan merenggang.

"Jadi, gue harus apa?" Violet menyahut datar.

Bersiul bahagia, Ditya berbisik. "Kan, udah gue bilang mau culik lo, makanya nurut, oke?" Lima jemari Ditya meremas bahu Violet. "Kalau lo melawan, gue bersumpah perintahin mereka bidik pelurunya ke kalian berdua!" lanjutnya serius.

Violet tersenyum paksa. "Oke, cuma gue, kan, yang lo mau? Jadi, ditinggalin dia di sini. Jangan sentuh sedikit pun..." Violet memperingati halus, detik berikutnya mendorong Cessa sampai termundur menjauh.

Cessa terperangah pada detik yang sama Violet membuang muka.

Ditya terkekeh geli. "Sekarang gue butuhnya emang cuma lo, anak pungut kalian itu nanti aja." Ditya bersiap-siap pergi, sekali lagi menatap Cessa berdiri diam.

"Selamatin Papa curut lo!" Satu tangan cowok berambut pirang tersebut mengibas, mengusir.

Siapa yang menyangka, Ditya lihat setelahnya gelengan brutal sang balita disusul sepasang tangan mungil melingkari kaki jenjang Violet.

"Enggak!" Seruan melengking menolak mentah-mentah, Cessa gelendotan erat di kaki Violet, menyadari pihak lain tampak kesal.

Giliran Violet yang kaget, lama-kelamaan tawanya pecah, membahana riang. Cessa jadi takut Violet kerasukan.

"Huhuhu, manisnya. Jangan cepet gede!" Violet balas merengkuh Cessa tanpa peduli delikan tajam mengarah ke punggungnya.

"Kalau gitu..." Rahang Ditya mengeras, matanya sakit menyaksikan sosok paling dia benci tengah berbinar bahagia.

"Nona kecil ini juga ikut." Ditya hendak menyambar lengan Cessa lebih dulu dihentikan Violet.

"Cessa tetap di sini!" Violet mencengkeram punggung tangan Ditya.

Ditya tersenyum miring.

"Gue berubah pikiran." Mengetuk earpice terpasang di telinga, Ditya meneruskan bengis. "Nurut, Vio. Lo nggak mau, kan, kepala Alula bolong."

Violet teramat sulit mengendalikan emosi meskipun tidak melayangkan pukulan, tetapi sebagai gantinya, Violet melempar makian pedas kemudian membuat wajah Ditya menggelap.

"Coba ulangi!" Ditya menarik kasar kerah jaket Violet, menyisakan jarak sejengkal. "Lo marah karena gue panggil dia Alula, dasar otak udang!" ujarnya membentak.

Cessa tadinya sempat kembali mundur gemetar, langsung melotot mendengar itu.

"Dasar mulut asu. Nama aku emang Cessa, sialan! Alula-nya udah mati, bangsat!" Cessa berteriak tak kalah nyaring kali ini, saking kerasnya berakhir terbatuk-batuk.

Kedua remaja itu kompak menunduk tercengang, mendapati acungan jari tengah mengarah pada Ditya.










***











Jika raganya yang berusia lima belas tahun, Cessa yakin masih bisa menahan lapar.

Namun, sekarang keadaannya telah berbeda, Cessa cuma bocah lima tahun apalagi beberapa bulan belakangan selalu makan teratur, tidak pernah merasakan di mana perutnya bakal keroncongan setengah mati.

"Cebong!"

Cessa menoleh, menghentikan kegiatannya mengintip ke celah lubang jendela. Di tengah ruangan Violet duduk selonjoran dengan kedua tangan terikat rantai begitu pun kaki.

Hatinya seketika pedih. Cessa berlari mendekat. "Mama..." Menelan ludah pahit, Cessa memandangi ragu Violet setelah memahami isyaratnya. "Nanti sakit."

Violet cemberut, kembali melirik pahanya menuntut. "Gue nggak selemah itu, jadi duduk di sana," ucapnya.

Cessa menurut. Mencari posisi nyaman dalam pangkuan Violet, lalu menyaksikan Violet mengamati jemari kanannya.

"Masih sakit?" Telapak tangan kapalan gadis berambut pendek itu berusaha mengusap lembut kuku kecil Cessa yang rusak dengan kulit ikut membengkak biru.

Cessa bungkam. Teringat bahwa tadi malam mencoba memasukkan tangan pada celah lubang di jendela kapal, tentunya berhasil, berteriak iseng Cessa meminta makanan.

Alih-alih makanan yang Cessa dapatkan, justru jemarinya dijepit perangkap tikus oleh orang-orang kejam di luar sana.

"Sedikit." Cessa tersenyum tipis saat Violet mengecupi tangannya. "Setelah ini pasti sembuh!" Mata Cessa berbinar, belum sempat melakukan hal serupa, Violet lebih dulu menahan kepala Cessa lewat lengannya.

"Pergelangan gue cuma luka kecil, nggak mau bau jigong," seloroh Violet tengil membuat Cessa manyun.

Violet tergelak, menempelkan dagunya di puncak kepala Cessa, tatapannya tertuju pada rambut sang balita yang tergerai mulai kusut.

"Mereka pasti datang, selamatin kita." Violet berbisik serius. "Sabar, ya, perutnya, cebong." Lengan Violet beralih mengelus sebentar perut rata Cessa bikin anak perempuan tersebut merona malu.

Sepertinya gerak-gerik dia terlihat jelas kalau kelaparan. Beberapa kali juga Cessa harus menelan ludah merasa haus.

"Kita kalah jumlah." Mata Violet terpejam. "Orang-orang klan elit itu benci banget sama gue."

"Kenapa?" Cessa bertanya lugu walaupun tahu alasannya karena Violet pernah menceritakan dulu, tapi kali ini Cessa ingin mendengarkan lebih banyak.

"Gue rakyat jelata, sih." Violet lalu menjauhkan diri secara bersamaan Cessa mendongak. Pandangan keduanya saling bertemu.

"Dasar orang-orang kolot." Cessa mencibir sebal, beringsut merapat, Cessa memeluk tubuh Violet. "Aku sayang Mama..." katanya pelan.

Violet mesem-mesem, suasana hati membaik begitu saja, Violet berceloteh panjang, sesekali memuji Cessa yang benar-benar bokem. Padahal bagi Cessa itu tidak layak dibanggakan.











****








Part ini pendek, tapi aku usahakan part selanjutnya lebih panjang dan update cepet :) makasih udah setia nunggu.

Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang