Cessa ngotot berdiri di tempat sambil makin kuat mencengkeram lengan Chester. Alih-alih paham jika Cessa ketakutan, Chester justru tertawa lucu.
"Itu manekin, oke?" Chester mengusap rambut Cessa, berjalan maju tanpa terganggu sepasang tangan kecil beralih memeluk salah satu kakinya.
Cuma orang sinting yang percaya omongan Chester.
Cessa ingin menangis, tapi air matanya tidak mau keluar. Terpejam, Cessa sengaja menyembunyikan wajah di belakang lutut Chester.
Chester tersenyum geli, langkah kakinya baru berhenti di tengah ruangan, dekat meja dapur.
"Jangan banyak gerak, pipi lo sakit nanti." Dia memperingati lalu melepaskan mudah belitan Cessa.
Cessa kalah dengan sikap keras kepalanya Chester. Mau tak mau mengikuti, memutuskan mengintip, Cessa kemudian menemukan cowok bertubuh kekar tersebut sudah berjongkok.
"Ini, nyokap lo." Sebelah tangan Chester meraih lengan Cessa, menyamakan posisi mereka tanpa menyadari kaki sang balita gemetaran.
Lebih dari satu kepala utuh, berjejer bagaikan membentuk formasi, rupa yang sama sekali tidak Cessa kenali atau mungkin hanya satu, pelaku sempat menampar wajah Cessa tadi siang.
"Sisanya kerabat dekat." Chester melirik Cessa. "Kalau ada yang masih hidup seumuran lo atau sedikit lebih tua, Kaizar bilang jangan sentuh mereka dan gue sama pasangan prik itu terpaksa nurut..." jelasnya dengan nada bicara seolah-olah, menyuruh Cessa memilih aksesoris mana yang paling Cessa suka.
Kali ini Cessa tidak lagi memandangi lantai, sepenuhnya menghadap Chester yang menunjukkan tampang tak bersalah. Harus kah Cessa memaklumi? Mengingat kepribadian Chester Prasangga telah jelas bengkok semenjak pertemuan pertama di hutan kala itu.
Menahan mual dengan mata berair Cessa berujar lirih. "Aku mau tidur." Dia sungguhan tidak sanggup melihat semua potongan kepala berkulit pucat itu.
Chester terdiam sejenak. "Tapi, gue masih mau pamer. Lo sedih karena mereka mati?" Chester memicing.
Apa Cessa perlu mendorong kuat dahi cowok remaja di depannya ini agar otaknya kembali normal?
"Perut aku sakit." Cessa memberitahu lirih sambil memegangi perut, jujur saja seperti ada yang berlomba-lomba meremasnya.
Belum sempat membuka mulut menyahuti, kedua tangan Chester sigap menahan tubuh kecil sang balita yang hendak ambruk.
"Cebong, Princessa, Cessa!" Chester memanggil cemas kemudian, mengusap kening Cessa agak basah dan setelah Chester amati wajah anak perempuan dalam pelukannya tampak pias.
"Kenapa lo pingsan?" Chester bertanya pelan, berkedip linglung pada detik yang sama berdiri.
Sebelum benar-benar pergi dari dapur kediaman para pelayan, Chester lebih dulu menendang kepala di dekat kakinya.
***
Jemari pucat Agas membolak-balikkan lembaran kertas di meja, membaca deretan nama lengkap disusul riwayat hidup.
"Yang pakai tanda silang merah ini berarti udah mati, kan?" tanyanya.
"Iya, tapi nggak semuanya." Izal mengungkapkan lugas, berdehem sekali dia melanjutkan. "Mereka yang pernah menyiksa Nona Alula, adapun buktinya berasal dari kamera pengawas, salah anggota klub akuma berhasil menyelinap di kediaman keluarga Adiyaksa." Izal duduk tegap di seberang sang Tuan, ekspresinya terlihat serius.
"Namanya Cessa bukan Alula." Agas tahu-tahu mendongak, mendelik tajam pada Izal yang sontak gelagapan. "Jangan bicara kaku, nggak ada siapa-siapa di sini."
Ruang kaca dipenuhi gelak tawa hambar kemudian, tangan cowok berkacamata itu menepuk-nepuk meja bundar sebagai pembatas diantara mereka alhasil tatapan Agas makin dingin.
"Lo keliatan badmood, jadi gue takut." Izal tersenyum kecut sambil memijit pelipis. "Sumpah, gue beneran heran, kenapa lo kepo dari mana toh asal bocah. Ini, masih Bagaskara Grisgam, kan?" ujarnya.
"Yang lain tertarik sama Cessa, gue cuma ikut-ikutan. Sesekali gue mau sedekah." Agas menjawab acuh tak acuh.
Izal terbatuk kering, melongo menatap Agas lurus yang sedang memalingkan muka.
"Setelah dipikir-pikir ucapan lo ada benarnya, kalau hidup dan mati gue nggak ada di keluarga lo, udah pasti Nona Cessa gue angkat sebagai adik." Izal mengungkapkan isi benaknya saat pertama kali bertemu Cessa.
"Dia baik, lucu, polos, imut, mukanya ingatin gue sama musang." Izal melirik kulit punggung tangan Agas yang terkesan seperti orang sakit-sakitan.
Siapa yang menduga reaksi Agas justru tersenyum meski terkesan mengartikan ejekan di bibirnya. "Coba bilang itu ke Violet, gue yakin jantung lo langsung ditusuk." Dia bersedekap angkuh.
Satu-satunya di klub akuma anggota perempuan adalah Violet. Peringai Violet yang beringas menjadi rahasia umum di lingkungan orang-orang paling dekat dengan Violet, termasuk Izal yang kecipratan, sering menyaksikan Violet mengamuk.
Izal agak tegang, mengusap leher kikuk dia membalas berbisik. "Violet emang gila, tambah gila kalau dipasangin sama Eros." Sebenarnya masih tersisa satu lagi, namun Izal merasa tidak pantas menyebut namanya.
"Chester juga." Agas menimpali datar tanpa peduli sosok yang mengikutinya semenjak kecil itu seketika melotot lebar.
"Generasi kali ini nggak ada persaingan, Chester dan Kaizar temenan. Enggak ada yang jadi raja di klan." Mata Agas berkilat aneh. "Gue suka para tetua bau tanah itu kebakaran janggut liatnya."
Izal ingin mengatakan sesuatu, namun dering ponsel di meja membuatnya terpaksa bungkam.
"Angkat telponnya, dari Chester." Ucapan Agas bikin Izal agak ketar-ketir kemudian.
***
"Kenapa Cessa bisa demam?!"
"Aku mana tau, baru juga datang udah diteriaki."
"Eros!"
"Iya, maaf."
Kaizar baru tiba di ambang pintu kamar kontan mengusap telinganya oleh teriakan itu yang saling bersahutan.
"Berisik." Berdiri di belakang Eros, Kaizar menyela lempeng hingga mulut keduanya serempak bungkam. "Chester mana?" Pandangan Kaizar lalu tertuju pada sosok kecil yang terbaring lemas di kasur.
"Tadi sempat ke sini terus pergi sama Agas," tutur Eros. Mengingat sekitar sepuluh menit lalu Chester dengan raut wajah yang muram menatap Cessa sampai detik ini tetap terpejam.
Tidak ada yang bersuara saat dokter memasangkan infus, kesenyapan suasana tegang terjadi berlangsung lamanya. Kedatangan Agas membuat perhatian Chester mampu teralihkan, tanpa pamit keduanya keluar kamar.
"Badannya panas banget." Violet menempelkan punggung tangan ke dahi Cessa. "Anak kita akhirnya bangun!" Violet berseru heboh tiba-tiba sembari menarik lengan Eros.
Eros refleks duduk merapat, bernapas lega mendapati tatapan mereka disambut oleh mata merah Cessa.
Cessa tidak tahu berapa lama kehilangan kesadaran yang pasti tubuhnya luar biasa menggigil, bahkan Cessa sempat mengira dia bakal membeku.
"Kakak..." Cessa bergumam serak dengan tangan terangkat rendah, memandangi kuyu Kaizar yang satu-satunya berdiri di sisi ranjang.
****
Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Gummy [END]
FantasyCessa dibuat kalang kabut usai menyadari keanehan menimpa dirinya. Alih-alih mati usai jatuh dari lantai jpo, Cessa malah memasuki tubuh anak balita berusia lima tahun, mana berada di tengah hutan lagi! **** Mulai : 29.09.2023 Akhir : 02.05.2024 ⚠D...