25. Hilang

11.6K 1.2K 85
                                    

Pikiran Eros terbagi-bagi, tiap bergerak berusaha melepaskan kuncian orang-orang sialan memegangi tangannya, hanya menyisakan bagian perut pedih setengah mati.

Luka jahitan diperut sempat tertusuk waktu itu, telah pasti terbuka parah sekarang. Eros jatuh berlutut dengan rona muka memerah, kepalanya menoleh cepat ke belakang.

"Chester!" Eros memanggil keras, detik kemudian tatapan mereka saling bertemu.

Siapa yang menyangka perhatian Chester di sana justru diambil baik oleh Rean, belum sempat Eros kembali berteriak memperingati, pedang Rean berhasil menggores lengan bawah Chester.

Eros terperangah.

"Hei, fokus ke sini, Calvindes!" Ditya bertepuk tangan sekali lalu melempar bandul phoenix ke hadapan Eros sementara rantainya dia jatuhkan tepat di bawah kakinya.

"Ini akibatnya kalau kalian terlalu sombong." Ditya merenggut segenggam rambut Violet dengan bibir mengukir seringaian keji.

Violet balas tersenyum, mengumpulkan saliva dalam mulut, tanpa kata Violet meludahi wajah Ditya disusul tawanya pecah membahana.

"Cewek bangsat!" Ditya menggeram, untuk kedua kali menendang kencang gadis di depannya yang berakhir membentur pembatas kapal.

Ditya menghampiri tergesa sambil menggeret pedang di genggaman kanan, luar biasa dongkol, dia memaksa Violet bangun dari posisi rebah.

"Mati lo jalang sia---tolol!!!"

Ditya meraung marah, matanya melotot lebar bertepatan terhuyung mundur, bilah pedang terangkat tinggi nyaris mengenai puncak kepala Violet berhasil ditahan.

Eros selaku yang menggagalkan berdiri pucat di antara keduanya, bernapas tersengal-sengal, seiring kening banjir keringat dingin.

Sepasang tangan Eros mencengkeram bilah tajam itu alhasil luka menganga bercampur cairan merah gelap tumpah ruah, bertitik-titik mengotori lantai kapal lama-kelamaan.

Violet tercekat, spontan menarik ujung jaket sang kekasih. "Kamu gila?!" Violet berseru gagap, jantungnya berdebar kalut kali ini. Ekspresi Violet cemas, buru-buru mendorong pelan tubuh Eros menyingkir.

"Gue lebih setuju kalian berdua yang sama-sama gila." Ditya menimpali, memandangi lurus Eros yang sewaktu-waktu nantinya bisa saja tergolek semaput. "Ck, jangan bikin rencana gue jadi makin susah!" lanjutnya sinis.

"Gue benci sama lo Ditya. Sangat!" Violet bergumam tajam. Buku jari terkepal kencang, gilirannya menghapus jarak, lebih dulu menepis lengan Eros yang hendak memeluk pinggangnya.

Violet mengabaikan bisikan serak Eros yang meminta tetap diam, kulit penuh lebam seolah bukan lah apa-apa, Violet berjalan tertatih-tatih mendekati Ditya tanpa tahu akan berujung menjadi penyesalan.


***



Mata bundar itu tadinya terkatup setengah jam lamanya, perlahan mengerjap. Terbuka sayu kemudian. Satu hal Cessa ketahui, masih di tempat yang sama dengan hawa dingin menusuk telapak kaki.

Langit-langit kapal Cessa lihat beralih ke rupa familiar berjarak sejengkal dari wajah. Cessa kaget, kalau tangannya tidak kebas kemungkinan Cessa bakal mengeplak spontan pipi Agas.

"Bangun lo?" Agas berujar ketus. Tatapan datar jauh berbeda dari beberapa menit yang lalu.

Cessa cuma mengangguk, mencoba bergeser menjauh, namun sensasi sakit tiba-tiba dia rasakan membuat dahinya berkerut dalam.

"Tenang..." Kata-kata itu berulang kali terucap bukan berasal dari Agas melainkan sosok di sebelah kiri Cessa tengah berlutut menghadap perutnya.

Mengigit sudut bibir, Cessa bergerak gelisah meski menyadari Kaizar fokus mengobati luka di perut, Cessa yakini berlubang mengerikan sekarang.

Bagaimana kalau nanti dia mati lagi? Ini pertama kalinya juga tertusuk belati. Cessa mambatin ketakutan.

"Bisa diam, kan?" Agas tahu-tahu kembali bicara terlebih suaranya lumayan keras.

Cessa mengerang lirih langsung bungkam, pada akhirnya mengiyakan patuh, tapi reaksi Agas justru merengut masam kemudian bikin Cessa ikut-ikutan kesal.

Kenapa jadi serba salah gini? Ingin sekali Cessa mengumpat. Membuang muka, Cessa sedikit menunduk mengamati Kaizar.

"Kak Kai ..." Cessa menelan ludah, diam-diam menatap ngeri banyaknya gumpalan kapas bernoda darah tergeletak asal-asalan di lantai.

Kaizar mendongak, dua detik berikutnya tersenyum tipis lalu satu tangan Kaizar terulur mengelus lembut sisi wajah bulat sang balita.

"Ukuran lukanya kecil dan nggak terlalu dalam, Princessa. Lo enggak akan mati," ujar Kaizar memberitahu.

Cessa mendengarnya berkedip linglung, haruskah dia bersorak bahagia karena batal masuk ke jurang kematian, namun bagi Cessa tetap saja sakit, bahkan tusukan menurut Kaizar sekecil itu tertanam di perut rasanya Cessa seperti mau benar-benar sekarat.

"Lo harus hidup," sambung Kaizar pelan disusul lamunan Cessa buyar, tatapan Cessa menyambut Kaizar yang konsisten memandanginya lekat.

Cessa mengangguk mantap. "Aku emang harus hidup," sahutnya lugu. Ujung mata Cessa sekilas melirik Agas. "Kalian juga, semuanya. Kak Aga...." Setelah berucap demikian, untuk kedua kali Cessa kehilangan kesadaran.





***







Tungkai bawah Chester nyaris tidak terlihat, saking banyaknya genangan darah yang membentuk layaknya anak sungai.

"Pembunuh bayarannya tewas nih." Nada bicara Chester berlagak menyayangkan, menendang-nendang salah satu mayat di sekelilingnya ke arah Rean yang kesusahan bangun.

"Lo tau nyokap gue bisa histeris liat anaknya luka gini." Chester berjongkok, menunjukkan goresan melintang di lengan kiri.

Tampang Rean pucat pasi menjadi hiburan tersendiri buat Chester yang tertawa-tawa.

"Gue cuma mau si cewek sialan itu, sesuai yang Datuk lo minta!" jawab Rean setengah membentak, di akhir ucapan Rean gemetar karena Chester kembali mengarahkan ujung pedang di sternumnya, kapan-kapan bisa saja menancap bengis.

"Lo enggak akan bisa." Mata Chester berkilat dingin dengan kaki tanpa alas, dia menginjak kuat-kuat paha Rean.

"Gue... bisa." Rean berujar sinis, disela tulang pipanya seolah ingin retak nantinya, Rean menerbitkan senyum provokasi. "Rekam baik-baik di ingatan lo, Chester. Lo gagal!" Telunjuk Rean tertuju rendah kepada dua orang yang berdiri di balik punggung Chester, tidak jauh dari posisi mereka sekarang.


***



Mata memburam, telinganya pengang oleh makian Chester yang berlari mendekat, tidak lama kemudian potongan kepala menggelinding lalu menabrak paha Eros.

Tangis Eros pecah saat itu juga, air matanya berjatuhan dengan berhati-hati mencabut ujung tajam pedang menusuk dada Violet kemudian.

"Sebentar, tadi aku cuma lengah satu detik, kan? Jadi, kenapa kaya gini?!" Eros bergumam suram, mendekap sang kekasih erat.

Tidak peduli Chester di sisinya menginjak-injak kalap kepala Ditya atau menghabisi orang-orang yang terlibat malam ini, karena semuanya telah sia-sia.

"Vio, aku, maaf ...." Dia menjerit kesakitan, air mata Eros makin banyak mengalir. Menunduk dalam-dalam, tanpa sanggup melihat manik coklat gelap tubuh dipeluknya sudah tidak lagi bernyawa.









****




Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih❤

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang