46. ruang kehampaan

5K 707 36
                                    

Mata itu terbuka tiba-tiba, Agas awalnya bersandar di sisi kasur beralih duduk tegak di kursi sambil terbatuk.

Sosok yang berdiri menghadap jendela kamar tengah melamun langsung dibuat kaget, segera saja dia setengah berlari menghampiri. Buku jari Kaizar terkepal, menahan diri tidak menubruk Agas.

"Gimana bisa lo bawa dia ke mimpi memori lo? Seharusnya lo izin dulu. Gue sama sekali gak keberatan kalaupun setelahnya dia ingat." Raut wajah Kaizar biasa tenang menghilang, detik ini hanya kemarahan terlihat.

Agas mencengkeram seprai lalu mendongak, membalas dingin tatapan Kaizar.

"Cessa sendiri yang bawa gue ke alam mimpinya!" sergah cowok itu judes, merasa tersinggung oleh tuduhan pihak lain.

"Iya, ternyata Cessa beneran adik lo. Sekarang gue percaya. Gue liat langsung jiwanya. Dia anuja. Puas lo?!" lanjutnya.

Kepala Agas mulai pening membayangkan hal-hal buruk terjadi pada Cessa yang seorang diri di sana.

"Kami saling bicara. Dia keliatan bingung, tapi tetap berusaha nerima beberapa kali sempat kesakitan, mungkin efek ingatannya yang mau balik," ucap Agas serak, melirik Kaizar tampak syok.

Memijit pelipis, tadinya Agas berencana memberitahukan soal kehidupan Cessa, namun mengingat Kaizar bisa terpukul dan barangkali benar-benar gila, lebih baik dirinya menyimpan sendiri.

"Umurnya lima belas tahun pas kita panggil jiwanya ke dimensi ini, dua tahun lalu. Kalau di hitung berarti sekarang udah tujuh belas." Agas berdecak, lama-kelamaan bosan dengan Kaizar terus bungkam.

Semestinya Kaizar banyak tanya atau paling tidak mengatai dia karena bertahun-tahun tak mempercayai ucapan Kaizar.

Gerak-gerik positif Kaizar tiap kesempatan dengan keyakinannya itu bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia selalu Agas pandangi rendah, menjadi salah satu alasan dirinya dengan Chester tak pernah akur.

"Adriel." Sekalinya Kaizar bersuara justru panggilan nama itu yang tidak mau Agas dengar.

Sebagai balasan Agas bergumam berlagak tak minat diajak bicara. Tangan Agas terulur meraih botol minuman bersegel di nakas, tertidur lama membuat tenggorokannya kurang nyaman.

Jika Agas siap mendengarkan maka Kaizar dilanda kegelisahan, amarah surut begitu saja. Seharusnya Kaizar tidak perlu kaget dengan perkataan Agas karena insting Kaizar tentang adik perempuannya selama ini tak pernah salah.

Kaizar menghela napas. "Gue bingung hadapin Princessa setelah ini, paling penting gimana reaksinya soal kematiannya sendiri di masa lalu. Ingatan itu jelas mengerikan yang bisa jadi bikin dia trauma ..." Sorot mata tersebut menyiratkan terluka bahkan tutur katanya sesaat bergetar di akhir.

Agas terhenyak, air mineral sedang dia teguk mendadak pahit. Butuh beberapa detik baginya bersuara.

"Cessa nggak mungkin trauma." Agas menyangkal, acuh tak acuh meneruskan kemudian. "Adik lo mati seribu tahun silam cuma dibakar hidup-hidup sementara kita bertiga susah payah nemuin jiwanya, tiap tau dia gagal bereinkarnasi, kita pasti bundir dengan cara selalu sama, gorok leher masing-masing, Itu nggak sebanding apa yan---"

Kata-kata panjang Agas tertahan oleh bunyi pintu di banting keras, belum sempat Agas menoleh, tubuhnya lebih dulu terdorong kasar disusul satu tinjuan menghantam rahangnya.







***






Cessa berjalan hati-hati, menatap jelalatan sekitar meski Cessa tau kehadirannya mustahil disadari, tapi tetap saja dia deg-degan. Sendirian. Kali ini tanpa Agas. Cessa bak terkurung di ilusi kenangan seseorang yang ternyata miliknya sendiri silih berganti.

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang