28. Dead

12K 1.4K 98
                                    

Bukannya mereka sudah berjanji untuk tumbuh bersama-sama lalu katanya penasaran dengan masa depan, namun jika sosok itu menghilang selamanya, Cessa benar-benar merasa di khianati.

Tidak ada Violet, di ruangan ini cuma Eros yang Cessa kenali. Cessa terduduk di lantai, air matanya berjatuhan.

"Aku gak mau kaya gini ...." Bibir kecil itu berucap parau, menutup mata dengan telapak tangan, berusaha memelankan suara tangis meski berakhir sia-sia. Bahunya bergetar hebat.

Eros berbaring di brankar tergesa bangun, melompat turun tanpa peduli pekikan kaget Reliya, menggeret tiang roda infus, Eros menghampiri Cessa.

Belum sempat tangan terulur, tepisan keras lebih dulu dia dapatkan. Eros tertegun pada detik yang sama menatap Kaizar berdiri selangkah di balik punggung Cessa dan Agas memasuki kamar.

"Jadi, Mama di mana?" Cessa meremas kencang celana piyama melekat di tubuhnya, susah payah suara yang keluar terkontrol baik tanpa harus gagap. Dia mendongak dengan pipi basah.

"Kami banyak bicara malam itu." Entah berapa hari Cessa kehilangan kesadaran yang pasti langit di luar sana masih tetap gelap atau bisa jadi cuma beberapa jam.

Eros memilih bungkam, menyaksikan Kaizar berjongkok menghentikan sepasang kaki pendek itu yang menghentak-hentak ke lantai.

"Bukannya kalian semua julukin Kak Violet anjing gila, jadi mana mungkin mati segampang itu, kan? Seingat aku, Kak Violet masih bisa ngamuk ... padahal udah ... berdarah-darah." Raut wajah Cessa linglung saat mengatakan sambil mencengkeram ujung lengan kaos Kaizar.

Eros dan Agas kompak mengerjap mendengar panggilan Cessa terasa asing meskipun begitu, tidak ada yang bersuara, menegaskan bahwa diam pilihan terbaik mereka sekarang.

"Semuanya di luar dugaan, satu orang pun pasti gak ada yang mau ini kejadian, Princessa," sahut Kaizar lembut.

Cessa membuang muka, menggigiti kuku jari risau, seiring air mata makin bercucuran deras, terisak-isak lirih. Cessa bersumpah, tidak pernah hatinya sesakit ini sebelumnya, bahkan saat mendengar kabar orang tuanya tewas kala kecelakaan di masa lalu.

"Tapi, aku nggak mau!" Cessa berteriak, bergeser mundur, menolak mentah Kaizar hendak menyentuh rambutnya. "Kami ... kami udah saling janji. Serius, Kak Vio. Mama!" Kepala Cessa tertunduk dalam, menangis histeris begitu saja.

Cara panggil Cessa berulang kali berubah-ubah. Sungguh, dia sakit hati. Jika tahu Violet akan berakhir menipunya ... seharusnya mereka tidak perlu membuat momen-momen manis.
 




  
  ***

   

  
 


Chester mengusap gagang pedang hati-hati, duduk di sebelah ranjang rumah sakit, sesekali memandangi lurus sosok yang berbaring memunggungi hampir satu jam lamanya.

"Nangis gak bakal bikin Violet hidup lagi, gue berduka, semua anggota klub akuma. Orang-orang terdekat Vio." Chester menelan ludah, cengkeraman pada hulu pedang mengerat.

"Pasti Kai udah ngomong ini, semuanya di luar dugaan. Kejadiannya secepat kilat. Vio lari ke Ditya tanpa tau ujung bilah itu nantinya menyasar ke rongga dada kiri, Vio terbu---"

"Kalian sendiri yang koar-koar kalau kalian hebat, Kak Vio pernah bicara bangga ... dia dijuluki anjing gila akuma terus kenapa malah mati?!" Cessa menyela sengit.

"Gak usah ngomong belibet, jantungnya tertusuk." Mata Cessa kembali berkaca-kaca menatap hampa dinding putih ruangan.

Chester tertegun selama beberapa detik. Ada reaksi terkejut di tampangnya seolah-olah tidak percaya Cessa berani membalasnya dengan nada suara terkesan sarkas, namun anehnya Chester tak tersinggung sama sekali.

"Cebong." Chester tersenyum samar, dengan gerakan mudah tangan kanan Chester membalik tubuh mungil sang balita agar menghadap padanya. "Panggil Violet kaya biasa, oke? Mama."

"Aku di tipu!" Buku jari ringkih Cessa terkepal di atas seprai. "Kami udah saling janji." Rona muka Cessa mulai merah padam, mati-matian menahan tangisnya tidak lagi pecah.

Setelah memasukkan pedang ke sarung lalu menyandarkan di nakas, Chester membelai kulit pipi Cessa.

"Vio bisa sakit hati denger lo marah-marahin dia, cebong."

"Aku juga sakit hati ..."

"Lusa nanti pemakaman Vio."

"Aku nggak mau dengar apa-apa!"

Chester menghela napas berat, tetap ngotot jemarinya menghapus air mata Cessa yang berjatuhan walau sesekali lengannya tiba-tiba ditepis.

"Aku ... aku sakit banget." Cessa berbisik gugu, memegang dada yang teramat sesak. "Tenggorokan aku pedih, kayaknya kesumbat kerikil." Pernapasan Cessa terasa panas, lama-kelamaan terengah, panggilan Chester tidak mampu lagi Cessa dengar kemudian.

  
     

***


 



Eros membuntuti lambat dua orang berjalan memimpin di depannya, cuma satu orang yang tampak menikmati penuh rencana mereka tengah malam ini, dengan cara membabat habis tiap ada yang mencoba menghalangi.

"Cukup, Chester." Kaizar berhenti alhasil Eros mengikuti. Tangan Kaizar mengibas seakan itu bisa menghapus noda merah yang terciprat di kulitnya. "Lo masih kuat jalan, kan?" tanyanya menoleh pada Eros.

Eros tertawa hambar. "Masih, lah!" Bibir pucat Eros tersenyum tipis karena paham maksud Kaizar.

"Adrenalin gue malah terpacu, udah gak sabar liat Chester tebas kepala Kakeknya sendiri. Lo beneran gak keberatan, kan, soal permintaan gue itu?" Tatapan Eros mengarah ke punggung tegap Chester yang mengacungkan main-main pedang berlumur darah ke udara, mayat bergelimpangan di depan bagaikan karpet merah siap di lewati.

"Gue gak keberatan. Lo harus percaya, kalau mama gue dukung orang tua satu-satunya gue habisi." Tanpa berbalik, Chester bersiul bangga lalu mendongak. "Di lantai dua makin banyak penjaganya, sialan banget!"

Mata sayu Eros tertuju dingin di undakan tangga teratas, penerangan sekedar lampu lantai dasar rumah bak istana ini, tidak dapat membantu dia menghitung berapa jumlahnya orang-orang di sana.
     








****




Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih❤

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang