24. Sorrowful (b)

11.6K 1.1K 89
                                    

Tangan kanan Agas meremas rambutnya, mati-matian menahan diri tidak mundur menjauh. Genangan darah mengotori lantai, posisinya yang berjongkok alhasil celana sekaligus sepatunya basah.

Tidak apa-apa. Tidak ada bayangan buruk. Kali ini ketakutannya tentang kenangan lama itu, harus dia enyahkan dalam pikiran.

"Jangan mati." Agas kembali berbisik, jemari terbungkus sarung tangan tersebut mengusap hati-hati kelopak mata Cessa yang tertutup rapat. "Karena gue nggak mau semuanya berakhir sia-sia..." Agas mendongak, mata jelaga itu menatap dingin langit-langit geladak.

Izal berdiri di balik punggung Agas mengerjap linglung mendengarnya, beberapa menit lalu lebih dulu terkejut menyaksikan sang Tuan yang memasang ekspresi muram lalu dia nyaris jantungan mendapati Agas menjatuhkan diri ke lantai, sukarela menyibak rambut panjang itu yang menutupi sebagian wajah sang balita.

"Biar say---"

"Gue yang gendong."

Agas menyela sambil berdiri, sebelum berbalik membenarkan posisi Cessa di lengannya.

"Jangan sampai ada yang cegat gue." Ujung mata Agas melirik Izal.

Agas yakin di luar sana masih banyak pembunuh bayaran yang tersisa, sementara tujuh orang di ruangan ini sudah semaput, untuk kesekian kali Agas terkesan dengan kemampuan bertarung Izal.

Cowok remaja bernetra abu-abu itu bergumam mengiyakan, tiba di depan pintu barulah dia berjalan memimpin, melewati lorong-lorong dek dengan waspada.



***




Ada banyak alasan mengapa Chester jadi kalap. Awalnya dia ingin sedikit berbaik hati, namun melihat noda gelap di gaun sosok kecil itu beberapa menit lalu Chester berubah pikiran.

Langkah kaki Chester terus-terusan melangkah maju dengan tangan menyabet pedang ke depan, sesekali dentingan keras berbunyi karena dua benda logam tersebut saling berbenturan.

Chester menerbitkan seringai tipis. "Teknik bertarung lo lumayan, tapi sayangnya yang lo lawan ini udah terlalu berpengalaman. Lo masih di bawah gue, Rean." Chester berujar acuh tak acuh.

Rean berdecak, napas tersengal-sengal. Peluh membanjiri kaos lengan panjang Rean. Kelincahan pihak lawan benar-benar membuatnya kewalahan.

"Gue punya pilihan." Rean menghindar cepat saat ujung tajam pedang Chester hendak mengarah pada bahunya.

Chester berhenti mendadak meski begitu, pedang dalam genggaman konsisten mengacung tepat sejengkal dari wajah Rean, binaran mata Chester berlagak tertarik yang dapat Rean mengerti.

Buku jari Rean terkepal, kebungkaman Chester sudah seperti menelanjangi hina dirinya.

"Tuan Arius mau Violet!" Rean memberitahu membentak, tatapan kebencian teramat jelas seolah-olah kehadiran gadis tinggi berambut pendek itu sungguhan mengotori lingkungan pergaulannya. "Gue tau lo cucu penurut, Prasangga!" lanjutnya.

Dulu, Chester memang sangat penurut siapapun mengakui, anak laki-laki manis dan murah senyum, namun semenjak insiden kecelakaan beberapa tahun silam tepatnya di umur dua belas tahun kepribadian halus itu menghilang.

Kalau pun masih tersisa hanya sekedar topeng belaka. Chester berdiri tercenung justru diambil baik Rean, pada detik yang sama Eros tidak jauh dari sana berteriak memanggil frustasi.




***





Violet terhuyung mundur di susul tubuhnya setengah membungkuk kemudian, memuntahkan seteguk cairan merah ke lantai kapal. Suara geraman di samping atau sumpah serapah panjang Ditya tak terdengar. Dia menjadi tuli tiba-tiba untuk sejenak.

"Cewek gila!" Eros selaku yang menarik pundak sang kekasih mendesis sarkas, tangannya mengangkat dagu Violet dengan raut cemas lalu mengusap sisi bibir Violet melalui jemarinya, membersihkan telaten.

Violet menyengir tengil. "Makasih, sayang." Dia memeluk Eros sekilas, detik berikutnya berusaha mendorong badan tegap Eros. "Jangan halangin aku bunuh Dityasu, perut cebong dia tusuk." Violet kembali memasang kuda-kuda mengetahui Ditya mulai bangun.

Kondisi Ditya bisa disebut lebih parah daripada Violet. Hidung itu tampak bengkok, sebelah mata Ditya membengkak biru lebam. Ada luka sabetan menganga di kulit leher Ditya.

Eros menatap terkejut, giginya bergemelutuk kuat-kuat. "Tetap diam!" Telapak cowok remaja bermata biru itu mencengkeram gemas pundak Violet.

"Si sampah itu urusan aku. Mundur, Vio. Kamu sadar, kan, kalau tangan kamu patah." Eros menggoyakan tangan kiri Violet yang terkulai aneh alhasil gadis itu meringis kesakitan.






***




Ditya bersiul riang secara bersamaan adrenalinnya berpacu hebat. Meludah darah, Ditya menangkap cepat kepalan tinju Violet hendak mengarah ke ulu hatinya, belum sempat Ditya memelintir ingin mematahkan tangan satunya Violet, lagi-lagi Eros berhasil mencegah.

"Jalang lo ini keras kepala, Calvindes." Ditya menatap mengejek Eros. "Hei, liat juga kondisi lo. Jahitan di perut itu bisa robek, kalau lo banyak gerak, makanya lebih baik satu lawan satu, oke?" Ditya melirik main-main bagian depan jaket Eros.

"Jaga bicara lo!" Pupil mata Eros memerah dengan ekspresi semakin menggelap. Tadinya mereka bertarung sekedar tangan kosong, namun kali ini Eros meraih pedang tergeletak asal-asalan di lantai.

"Gue belum pernah gorok leher makhluk hidup, kayaknya ini perdana." Eros tersenyum miring sambil melesat maju.

Ditya menyambut semringah. "Yang gue tunggu akhirnya kesampaian," balas Ditya mengerjap licik.

Ditya bergeser menghindar ke samping lalu berlari ke tengah-tengah kapal, mengambil satu pedang tersisa di meja, melepaskan sarungnya.

"Dasar tolol. Benda lo pegang itu tumpul!" Ditya tergelak-gelak puas.

Eros terperangah.

"Kalian semua." Ditya melirik beberapa pria babak belur teronggok serampangan dengan wajah babak belur di lantai, penyebabnya adalah Chester bikin batin Ditya mengumpati kelakuan Chester.

"Pegang dia baik-baik, gue mau kasih atraksi." Tepat setelah titah itu terucap, alih-alih langsung menyerang Eros yang telah siaga mengeratkan pegangannya pada gagang pedang, Ditya justru memutar tubuh, berlari ke arah berlawanan.

Violet terkejut sekilas, buru-buru bergulung menghindar kala pedang Ditya berniat menyabet pahanya.

"Bangsat lo, jalang!" Ditya berteriak memaki, rahangnya mengeras untuk kesekian menyaksikan kegigihan Violet. Tidak mengizinkan Violet berdiri, Ditya menyambar satu kaki gadis itu lalu memaksanya berbaring menghadap.

Tanpa manusiawi, Ditya menendang kencang dagu Violet di waktu bersamaan Eros berteriak histeris.

Ditya menoleh ke belakang dengan senyuman tipis, menikmati Eros di sana yang memberontak di tengah kuncian orang-orangnya.

"Lo kalah. Kalian semua kalah. Jadi, sebagai hadiah karena gue sama Rean udah menang, cukup noda menjijikkan di lingkungan elit kita ini hilang..." Ditya kembali bersiul bertepatan saat Violet berhasil bangun walaupun harus sempoyongan.

Ditya berjalan maju, mempertipis jarak, tangan kanannya meraih bahu Violet, meremas kuat-kuat.

"Setelah lo, giliran Alula." Laki-laki bersurai pirang tersebut berbisik lembut. "Kalian semua ini terlalu sombong." Ditya menarik kasar kalung berliontin phoenix melingkar di leher Violet alhasil rantai perak itu terputus.












****




Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.

Terima kasih❤

Gummy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang