Jika ada nominasi balita spesial di dunia ini, pasti nama Cessa yang akan jadi pemenang. Jarang-jarang ada balita cebok sendiri.
Cessa bahkan berhasil lolos dari mata elang Violet, kabur dengan cara merangkak di bawah meja keluar ruangan.
Dia mengira, Chester bakal membawanya malam ini ke markas jelek para kriminal, sesekali mereka menyebutnya klub akuma.
Namun, mobil Chester setir justru berhenti di pelataran parkir gedung pencakar langit, tiga wajah familiar menyambut Cessa lalu tangan Cessa digandeng memasuki gedung.
"Berasa jadi nona muda." Cessa mesem-mesem, mendudukkan diri di bangku panjang depan toilet.
Kalau dia di sini dalam jangka lama, apa keempat orang itu akan kalang kabut mencarinya? Jujur, Cessa penasaran.
Mendengar derap langkah kaki membuat Cessa mendongak kemudian, mendapati sosok perawakan jangkung berjalan melewatinya.
"Halo, ganteng!" Cessa buru-buru menyapa riang sambil melambaikan tangan, sepertinya sosok asing ini anggota klub akuma jika bukan kemungkinan petugas kebersihan.
Cessa sama sekali tidak menyesal menyapanya.
Lantai Cessa pijak sekarang tepat berada di lantai atas gedung, tempat markasnya orang-orang berkalung simbol burung phoenix termasuk keempat orang yang akhir-akhir ini bersama Cessa.
Dia berbalik.
Cessa tersenyum manis.
Matanya sudah biasa melihat setelan serba hitam, nyaris tiap hari selama di hutan Violet dan Eros mengenakannya.
Dia pakai liotin burung phoenix.
"Boleh bantuin Cessa?" Satu tangan Cessa terulur menunjukkan gulungan asal kaos kaki warna-warni.
"Tolong, pakein, Kakak..." Dengan sengaja Cessa menggoyangkan kaki kecilnya.
Tidak ada yang bisa menolak pesona balita menggemaskan seperti dirinya, jujur saja Cessa telah menerima keadaan ajaib ini dan menganggap segalanya berkah.
Perawakan cowok remaja berdiri di hadapan Cessa, mengingatkan pada Kaizar dan Chester. Tinggi sekaligus kekar tiap kesempatan Cessa merasa takut.
"Lo beneran anak kecil yang dipungut Violet itu, kan?" Kedua tangan sedari tadi dalam saku jaket perlahan di keluarkan, suaranya tertangkap serak.
Cessa mendadak merinding, bulu kuduknya tahu-tahu mulai berdiri, makanya tiga detik kemudian punggung Cessa semakin menempel di sandaran bangku.
Kayaknya nih manusia serba gelap baru bangun tidur.
Cessa menelan ludah, melirik sekali lagi sepasang mata sayu itu dengan jarak sedekat ini, karena sosok bermasker di depannya telah berjongkok usai mengambil kaos kaki Cessa pegang.
Tangan itu tertutupi sarung tangan panjang yang mana baru Cessa sadari.
"Bagaskara..." Cessa mencicit, mengintip penasaran bordir putih mengukir nama lengkap di lengan sarung tangan tersebut, belum sempat Cessa kembali melanjutkan membacanya, mata Cessa lebih dulu ditutup.
Cessa terperangah, tentu saja gelap kemudian. Merengkek kecil Cessa menepis telapak tangan yang menempeli sebagian mukanya, tapi alih-alih menjauh, jemari besar itu justru tambah erat tertempel menahan kelopak mata Cessa.
"Selain genit lo juga kurang sopan." Agas tertawa pelan. Menatap datar kaki menggantung di bangku, yang tengah mencoba menendang lututnya.
"Gue benci kotor," ujarnya berbisik sambil meraih kaki kecil Cessa makin bergerak liar.
Kepala Cessa terkatuk dinding, kali ini tidak lagi gelap, dia leluasa melihat karena tangan besar itu sudah sepenuhnya menjauh, tapi siapa yang menyangka sebagai gantinya telapak tangan cowok tersebut beralih mencengkeram pergelangan kaki Cessa.
Cessa terbelalak, antara kaget sekaligus kesakitan kemudian, sementara pihak lain membalasnya dengan seringai di mata Cessa teramat mengerikan, entah sejak kapan masker menutupi rupa itu terlepas.
"Terus gue benci disentuh." Dia melanjutkan dingin. Meremas lebih kencang, acuh tak acuh suara parau jeritan memecah keheningan lorong depan toilet.
"Agas, anjing!!!" Sekonyong-konyongnya seruan bernada murka itu datang bagaikan penyelamat, disusul badan Bagaskara menghantam keras tembok.
***
Eros menghentikan Violet yang terus memukuli samsak tanpa ampun, tepian wajah gadis bersurai pendek itu telah basah oleh keringat.
"Sumpah. Aku kesel banget sama Agas!" Violet mendesis penuh penekanan, napasnya agak tersengal-sengal lalu merebahkan diri ke matras yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Eros meringis. "Kalo Chester telat datang, aku yakin tulang Cessa pasti udah patah," jawabnya mengingat kejadian satu jam lalu yang berhasil menghebohkan penghuni lantai gedung.
Mereka yang kebanyakan sedang bersantai atau duduk di balik komputer, langsung tegang bercampur linglung menemukan ekspresi Chester bersiap mengamuk.
Dalam gendongannya ada Cessa terpejam rapat dengan air mata berlinang bikin Eros melongo syok, pada detik yang sama Violet berlari menghampiri saat keduanya melihat memar keungungan mencolok di dekat mata kaki Cessa.
"Aku nggak nyangka kelainan Agas makin parah." Eros menghela napas sambil meremas rambutnya.
"Tadi kamu terlalu nekat langsung lari ke Chester, padahal kita semua tau kalo Chester kaya mau ngamuk, jangan coba-coba dekatin dia." Tatapan Eros menyiratkan kengerian.
Respon Violet hanya terbahak hambar sembari melepaskan sarung tinju, mengambil handuk bersih di sisi tubuhnya secara perlahan mengusap leher.
Ujung mata Violet melirik Eros yang menunjukkan air muka tertekan.
"Enggak bisa janji."
Eros mendelik.
"Aku mau bicara sama Agas." Violet berniat bangun lebih dulu terperanjat mendengar bantingan keras begitu pun Eros.
Keduanya kompak menoleh ke ambang pintu dan Kaizar berdiri di sana.
"Agas mana?" Kaizar bertanya lempeng.
"Di ruang kesehatan." Violet menyahut jujur tanpa memedulikan Eros yang sontak melotot.
****
Tinggalkan vote dan komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya. Jangan sider ya.
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Gummy [END]
FantasyCessa dibuat kalang kabut usai menyadari keanehan menimpa dirinya. Alih-alih mati usai jatuh dari lantai jpo, Cessa malah memasuki tubuh anak balita berusia lima tahun, mana berada di tengah hutan lagi! **** Mulai : 29.09.2023 Akhir : 02.05.2024 ⚠D...